Cari Blog Ini

Minggu, 18 Maret 2012

pengertian jadal dan qasam berikut contohnya serta hikmah keduanya dalam perspektif komunikasi dakwah!


pengertian jadal dan qasam  berikut contohnya serta hikmah keduanya dalam perspektif komunikasi dakwah!
A.    Jadal
1)      Pengertian Jadal
Jadal atau jidal yaitu bertukar pikiran untuk mengaklahkan lawan. Masing-masing orang yang bermaksut berdebat itu bermaksut merubah pendirian lawan yang semula dipeganginya.[1]
2)      Macam-Macam Perdebatan Dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur’an banyak mengungkapkan ayat-ayat kauniyah yang disertai perintah malakukan perenungan dan pemikiran untuk dijadikan dalil bagi penetepan dasar-dasar akidah.
Membentah pendapat para penentang dan lawan, serta mematahkan argumentasi meraka.
3)      Kegunaan Jadal Dalam al-Qur’an
Allah menyatakan dalam al-Qur’an bahwa jadal merupakan salah satu tabiat manusia.
Dan manusia adalah mahluk yang paling banyak mendebat.” (QS. Al-kahfi:54)
Disamping itu, Allah memperbolehkan juga ber-munazharah dengan ahli Kitab dengan cara yang baik. Firman-Nya,
“dan janganlah kamu berdebat dengan ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik” (An-Nahl:125)
Munazharah seperti bertujuan untuk menampakkan hak (kebenaran sejati) dan membangun hujjah. Itulah metoda Jadal al-Qur’an dalam memberi petunjuk kepada orang kafir dan mengalahkan para penantang al-Qur’an .

B.     Qasam
1)      Pengertian Qasam
Aqsam adalah benuk jamak dari qasam yang berarti al-hilf dan al-yamin, yakni sumpah. Sighat yang asli bagi sumpah ialah uqsimu atau ahlifu, yang dita’diahkan dengan ba kepada muqsam bihi. Kemudian barulah disebut muqsam ‘alaihi, yang dinamakan jawab qasam,. [2]Seperti firman Allah swt:
وأقسوا با لله جهد أيمانهم لا يبعث الله من يموت... (انحل:36)
“Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah bahwa Allah tidak membangkitkan orang yang mati…” (QS. An-Nahl:38)
2)      Macam-macam Qasam dan Contohnya
Qasam dibagi menjadi dua yaitu[3]:
Ø  Zhahir, ialah sumpah yang didalamnya disebut Fi’il qasam dan muqsam bihi. Dan diantaranya ada yang dihilangkan Fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jar berupa “ba”, “wawu” dan “ta”. Dan ada juga yang didahului ‘la nafy” seperti:
لاأقسم بيوم القيمة (1) ولا اقسم با لنفس اللوا مة (2) [القيا مة 1-2]
Tidak sekali-kali, Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan tidak sekali-kali , Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (Al-Qiyamah:1-2)
Ø  Mudhmar, yaitu yang didalamnya tidak dijelaskan Fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetepi ia ditunjukkan oleh lam taukid yang masuk dalam jawab qasam, seperti firman Allah:
لتبلون فى أموا لكم وأنفسكم (ال عمران:186)
“ Kamu sunguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu” (Ali Imran:186).
3)      Redaksi Qasam dan Unsur-unsurnya
Unsur-unsur sighat qasam ada tiga:
1.      Fi’il yang muta’adi dengan ba.
2.      Muqam bihi
3.      Muqsam ‘alaihi.[4]
Oleh karena qasam banyak terjadi dalam pembicaraan, dia diringkaskan yaitu dengan membuang Fi’il qasam dan cukup dengan ba saja, kemudian ba diganti dengan wawu pada isim-isim yang zhahir, atau dengan ta, tapi sedikit sekali yang memakai ta dan yang banyak memakai wawu.

4)      Hikmah Mengetahui Qasam dalam Al-Qur’an
Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuati didalam jiwa. Dalam penurunan al-Qur;an ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam Kalamullah, guna menghilanhkan keraguan dan kesalahpahaman, membangun argumentasi, menguatkan khabar dan menetapkan hokum dengan cara paling sempurna.[5]
Kata dakwah secara etimologis merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da’a – yad’u yang berarti panggilan, seruan, atau ajakan. Sedangkan secara terminologis, dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai dengan garis faedah, syari’at dan akhlak Islam.
Ada tiga cara berdakwah, yaitu :
  1. Dakwah bil hikmah,
maksudnya dengan dalil (burhân) atau hujjah yang jelas (qath‘i ataupun zhanni) sehingga menampakkan kebenaran dan menghilangkan kesamaran. Cara ini tertuju kepada mereka yang ingin mengetahui hakikat kebenaran yang sesungguhnya, yakni mereka yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi atau sempurna; seperti para ulama, pemikir, dan cendekiawan.[6]
Sebagian mufasir seperti as-Suyuthi, al-Fairuzzabadi, dan al-Baghawi mengartikan hikmah sebagai “al-Quran”. Ibnu Katsir menafsirkan hikmah sebagai apa saja yang diturunkan oleh Allah, berupa al-Kitab dan as-Sunnah.
Penafsiran tersebut tampaknya masih bersifat global. Mufasir lainnya lalu menafsirkan hikmah secara lebih rinci, yakni sebagai hujjah atau dalil. An-Nawawi al-Jawi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang menghasilkan aqidah yang meyakinkan. An-Nisaburi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang dapat menghasilkan keyakinan. Al-Baidhawi dan Al-Khazin mengartikan hikmah dengan ucapan yang tepat (al-maqâlah al-muhkamah), yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menyingkirkan kesamaran (ad-dalil al-muwadhdhih li al-haq wa al muzîl li asy-syubhah). Al-Asyqar menafsirkan hikmah dengan ucapan yang tepat dan benar (al-maqâlah al-muhakkamah ash-shahîhah).
Kesimpulannya, jumhur mufasir menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau dalil. Dari ungkapan para mufasir di atas juga dapat dimengerti, bahwa hujjah yang dimaksud adalah hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah), yakni hujjah yang tertuju pada akal. Sebab, para mufasir seperti al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi mengaitkan seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya yang spesifik, yakni golongan yang mempunyai kemampuan berpikir sempurna (al-khawwâs).
  1. Dakwah  mau’izhah hasanah, yaitu peringatan yang baik yang dapat menyentuh akal dan hati (perasaan). Misalnya, dengan menyampaikan aspek targhîb (memberi dorongan/pujianjani) dan tarhîb (memberi peringatan/celaan/ancaman) ketika menyampaikan hujjah. Cara ini tertuju kepada masyarakat secara umum. Mereka adalah orang-orang yang taraf berpikirnya di bawah golongan yang diseru dengan hikmah, namun masih dapat berpikir dengan baik dan mempunyai fitrah dan kecenderungan yang lurus.
Sebagian mufasir menafsirkan mau’izhah hasanah (nasihat/ peringatan yang baik) secara global, yaitu nasihat atau peringatan al-Quran (mawâ‘izh al-Qur’ân). Demikian pendapat al-Fairuzabadi, as-Suyuthi, dan al-Baghawi. Namun, as-Suyuthi dan al-Baghawi sedikit menambahkan, dapat juga bermakna perkataan yang lembut (al-qaul ar-raqîq).
sifat mau‘izhah hasanah sebagai suatu nasihat yang tertuju pada hati (al-qalb), yang lebih bernuansa spiritual, tanpa meninggalkan karakter nasihat itu yang tertuju pada akal (al-‘aql), yang bernuansa rasional. Sayyid Quthub menafsirkan mau‘izhah hasanah sebagai nasihat yang masuk ke dalam hati dengan lembut (tadkhulu il­â al-qulûb bi rifq). An-Nisaburi menafsirkan mau‘izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang memuaskan (ad-dalâ’il al-iqna’iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan pembenaran (tashdîq) berdasarkan premis-premis yang yang telah diterima. Al-Baidhawi dan Al-Alusi menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai seruan-seruan yang memuaskan/meyakinkan (al-khithâbât al-muqni‘ah) dan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-‘ibâr al-nâfi‘ah). An-Nawawi al-Jawi menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni (al-amârât azh-zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan. Al-Khazin menafsirkan mau’izhah hasanah dengan targhîb (memberi dorongan untuk menjalankan ketaatan) dan tarhîb (memberikan ancaman/peringatan agar meninggalkan kemaksiatan).
karakter nasihat yang tergolong mau’izhah hasanah ada dua:
                               I.            Menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang digunakan para mufasir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni kata dalâ’il (indikator-indikator), muqaddimah (premis), dan khithâb (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami.
                            II.            Menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan.
  1. Dakwah dengan jadal (jidâl/mujâdalah) billati hiya ahsan, yaitu debat yang paling baik. Dari segi cara penyampaian, perdebatan itu disampaikan dengan cara yang lunak dan lembut, bukan cara yang keras dan kasar. Cara ini tertuju kepada orang yang cenderung suka berdebat dan membantah, yang sudah tidak dapat lagi diseru dengan jalan hikmah dan mau‘izhah hasanah.
Pada penafsiran yang lebih terperinci, akan didapati perbedaan pendapat di kalangan para mufasir. Akan tetapi, perbedaan itu sesungguhnya dapat dihimpun (jama’)” dan diletakkan dalam aspeknya masing-masing. Perbedaan itu dapat dikategorikan menjadi tiga aspek:
                         I.            Dari segi cara (uslûb), sebagian mufasir menafsirkan jidâl billati hiya ahsan sebagai cara yang lembut (layyin) dan lunak (rifq), bukan dengan cara keras lagi kasar. Inilah penafsiran Ibn Katsir, al-Baghawi, al-Baidhawi, al-Khazin, dan M. Abdul Mun’in Al-Jamal.
                      II.            Dari segi topik (fokus) debat, sebagian mufasir menjelaskan bahwa jidâl billati hiya ahsan sebagai debat yang dimaksudkan semata-mata untuk mengungkap kebenaran pemikiran, bukan untuk merendahkan atau menyerang peribadi lawan debat. Sayyid Quthub menerangkan bahwa jidâl billati hiya ahsan bukanlah dengan jalan menghinakan (tardzîl) atau mencela (taqbîh) lawan debat, tetapi berusaha meyakinkan lawan untuk sampai pada kebenaran (Fî Zhilâl al-Qur’âdan, XIII/292).
Dari segi hujjah, sebahagian mufasir menjelaskan bahawa hujjah dalam jidâl billati hiya ahsan mempunyai dua tujuan sekaligus, yaitu untuk menghancurkan hujjah lawan (yang batil) dan menegakkan hujjah kita (yang haq). Imam an-Nawawi al-Jawi (Marah Labid, I/517) menjelaskan bahwa tujuan debat adalah ifhâmuhum wa ilzâmuhum (untuk membuat diam lawan debat dan menetapkan kebenaran pada dirinya). Imam al-Alusi mencontohkan debatnya Nabi Ibrahim a.s. dengan Raja Namrudz (Rûh al-Ma‘âni, V/487).


[1] Manna’ Khalil, Al-Qattan, Mabahis Fi Ulumil Quran, [Surabaya : Al-Hidayah ,1673], hal. 291
[2]  Manna’ Khalil, Al-Qattan, Mabahis Fi Ulumil Quran, [Surabaya : Al-Hidayah ,1673] hal.290
[3] Ibid, Hal. 293
[4] Ibid, Hal. 290
[5]  Ibid, hal. 291
[6] M. Hasbi Ash Shiddieqy, , Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Semarang, edisi ke tiga,Pustaka Rizki Putra, 2009 hal. 79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar