Cari Blog Ini

Selasa, 22 November 2011

Urgensi Pancasila dalam Era Moderenisasi

Urgensi Pancasila dalam Era Moderenisasi Bumi Pancasila itulah sebutan bagi negara Indonesia. Bisa kita katakan sebagai bumi Pancasila disebabakan tidak ada satu pun jalan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sah di Bumi Pertiwi Indonesia kecuali sesuai dan sejalan dengan Pancasila. Dijadikannya Pancasila sebagai landasan ideal bagi bangsa Indonesia dan ditempatkannya teks Pancasila dalam pembukaan UUD 1945, menimbulkan dampak besar dalam seluruh segi kehidupan bangsa Indonesia. Tidak hanya berdampak yuridis, tapi juga filosofis dan sosiologis bagi seluruh elemen bangsa Indonesia Secara yuridis Pancasila menjiwai UUD 1945 yang merupakan landasan konstusional bangsa Indonesia. Sebagai landasan konstutisional, UUD 1945 haruslah semua bentuk peraturan hukum di bawahnya sejalan dan seirama dengan apa yang diinginkan untuk dicapai oleh UUD 1945. Dari sudut pandang yuridis hal ini bisa kita wujudkan dengan sinkronisasi segala bentuk peraturan perundang-undangan di bawah UUD agar maksud dan tujuan Pancasila dapat tercapai melalui bentuk penjabaran norma-norma hukum. Namun, sinkronisasi jiwa Pancasila yang dijabarkan dalam norma- norma hukum itu masih menyimpan banyak persoalan tentang eksistensi Pancasila dalam kehidupan nyata bangsa Indonesia. Sebagai suatu norma kita akui Pancasila haruslah menjadi pedoman bagi segala bentuk penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di Bumi Pertiwi ini. Tapi sebagai pandangan hidup adakah Pancasila masih menjadi satu kesatuan jiwa dan cara berpikir bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila kini telah tergerus oleh globalisasi yang selalu membawa karakter individualistik dan liberal. Kita sebagai bangsa tidak lagi mampu menjadikan Pancasila sebagai benteng untuk menahan arus globalisasi yang membawa dampak kehidupan yang sejatinya bertentangan dengan Pancasila. Persoalan-persoalan bangsa yang tak pernah kunjung selesai adalah bentuk lunturnya Pancasila dari jiwa bangsa Indonesia. Karena semua persoalan itu sejatinya adalah persoalan yang hanya membutuhkan satu solusi saja, yaitu sebuah karakater sebagai identitas bangsa Indonesia.Sebuah karakater yang mampu menghantarkan bangsa ini ke depan gerbang kesejahteraan, dan karakater itu bernama pancasila. Kini, sebagai bangsa kita terlalu sibuk memikirkan bagaimana nilai ekspor kita meningkat, cadangan devisa bertambah, eksploitasi sumber daya alam, dan bagaimana mekanisme memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Tapi kita tidak pernah lagi berpikir untuk bagaimana membumikan Pancasila di hati anak bangsa, sehingga mereka bisa tumbuh sebagai pemegang tongkat estafet sebagai seorang Pancasilais. Perhatian kita tersita oleh persoalan-persoalan teknis yang sejatinya bisa diselesaikan secara mudah asal kita sebagai bangsa punya pendirian. Pancasila kini hanya dijadikan sebagai bacaan wajib dalam setiap upacara, bacaan dan hapalan wajib dalam setiap jenjang pendidikan, tapi kita tidak pernah mewajibkan menerapkan nilai-nilainya. Masihkan kita belum menyadari mengapa dulu para founding father kita menciptakan Pancasila. Sesungguhnya para founding father kita sadar bahwa bangsa ini tidak akan pernah tenggelam dan terkucilkan dari bangsa lain selama kita punya karakter sebagai identitas sebagai bangsa. Meski kita hidup sebagai bangsa yang serbakekurangan. Sebab segala bentuk persoalan teknis pasti dapat diselesaikan dengan bijak selagi kita berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila. Kini generasi bangsa telah mulai melupakan urgensi Pancasila, kita lebih tertarik dengan kehidupan gaya barat yang hedonis dan individualistik. Kita tidak lagi memikirkan jiwa keadilan sosial dan kesejahteraan sosial yang menjadi salah satu nilai Pancasila. Korupsi, kolusi, dan nepotisme kini telah menjadi kebiasaan jika kita tidak mau berkata itu telah menjadi budaya. Banyak hal-hal yang dulunya tabu kini telah menjadi suatu hal yang biasa, karena kita tidak lagi mau mengkaji dan mengimplementasikan nilai- nilai Pancasila. Eksistensi Pancasila sebagai pandangan hidup yang bernilai filosofis dan sosiologis kini menjadi hal perlu untuk menjadi kajian generasi bangsa. Penumbuhan kembali Pancasila sebagai pandangan hidup yang tersemayam dalam jiwa manusia Indonesia adalah hal yang mendesak dan persoalan utama kita sebagai bangsa Indonesia. Jika kita tidak ingin ia hanya bernilai semantik belaka, dan hanya menjadi slogan-slogan di setiap upacara. Yang pada akhirnya kita hanya akan menjadi bangsa yang pengekor bukan pelopor di tengah globalisasi yang terus mewarnai dunia. Peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 65 tahun yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 2010,yang bertepatan dengan pelaksanaan ibadah puasa bagi umat muslim, terasa sekali hambarnya.Apakah hal ini hanya kebetulan karena bertepatan dengan ibadah puasa yang sedang dilakukan sehingga sebagian umat muslim membatasi kegiatannya termasuk dalam rangka perayaan hari kemerdekaan ini atau karena hal lain yang lebih mengkhawatirkan yaitu rasa nasionalisme yang mulai tergerus. Untuk kedua asumsi diatas,biarlah hati kita masing masing yang menjawabnya, namun di era informasi saat ini makna dari kemerdekaan itu sendiri tidak hanya sebatas ceremonia atau uforia semata namun lebih dari pada itu tepat lagi kalau arti dari kemerdekaan itu sendiri di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari dimana masing masing diri kita harus memiliki rasa kemerdekaan yang memerdekakan , baik memerdekakan hati kita dari belenggu individualisme yang saat ini menjangkiti hati masyarakat kebanyakan atau kemerdekaan yang kita isi dengan cara memerdekakan orang lain di sekeliling kita yang secara sosial dan tingkat kehidupan jauh dari pada merdeka. Kadang kala kita sering menafikan atau melupakan bahwa kita ini adalah makhluk sosial yang memiliki lingkungan dan komunitas sosial, sehingga seharusnya setiap kegiatan atau laku hidup yang kita jalani di muka bumi ini tidak terlepas dari interaksi positif baik dalam proses menerima maupun proses memberi. Kemerdekaan ini akan lebih bermakna saat kita bisa membuat masyarakat miskin ikut merasakan kemerdekaan,merdeka dari rasa lapar, merdeka dari rasa takut, merdeka dari kebodohan, merdeka dari diskriminatif, merdeka dari pembodohan dan yang terpenting merdeka dari penindasan oknum pejabat yang menggerogoti negri ini sehingga menimbulkan dampak kemiskinan dan kesulitan ekonomi, yang berimbas langsung kepada masyarakat bawah.