Cari Blog Ini

Jumat, 10 Juni 2011

filsafat manusia

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Pemikiran tentang hakikat manusia sejak zaman dahulu kala sampai zaman modern sekarang ini juga belum berakhir dan mungkin tak akan pernah berakhir. Ternyata orang menyelidiki manusia itu dari berbagai sudut pandang. Ada yang menyelidiki manusia dari segi teori yaitu epistimologi, adapula yang menyelidiki dengan sudut pandang hakikat yaitu ontologi. Sedangkan yang menyelidiki manusia dari sisi manfaat yang disebut aksiologi.

Memikirkan dan membicarakan hakikat manusia inilah yang menyebabkan orang tak henti-hentinya berusaha mencari jawaban yang memuaskan tentang pertanyaan yang mendasar tentang manusia itu sendiri, yaitu apa dari mana dan mau kemana manusia itu.

Oleh karena itu pada makalah ini kami akan membahas tentang hakikat manusia dalam filsafat islam yang meliputi teori penciptaan manusia, hakikat manusia diciptakan dan manfaat eksistensi manusia di bumi, dipandang dalam kaca mata lima tokoh filosof islam yakni diantaranya: Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali ( di kawasan timur) dan Ibnu Rusyd ( di kawasan barat).

Semoga dengan pembhasan ini dapat menambah wawasan bagi kita dalam memahami hakikat diri kita sebagai manusia di muka bumi ini.





B. Rumusan Masalah

1. Hakikat penciptaan manusia (Ontologi) dalam perspektif lima tokoh filosof islam.
2. Teori penciptaan manusia (Epistemologi) dalam perspektif lima tokoh filosof islam.
3. manfaat penciptaan manusia (Aksiologi) dalam perspektif lima tokoh filosof islam.

C. Tujuan
1. Hanyalah semata-mata mengharap RidhoNYA.
2. Mengetahui dan memahami terkait masalah manusia dalam pandangan lima tokoh filosof islam yang ditinjau dari aspek epistemologi,ontologi dan aksiologi.
3. Sebagai media pembelajaran demi terwujudnya insan kamil.

















BAB II
PEMBAHASAN

A. ASPEK ONTOLOGI
Hakikat manusia menurut al-Qur’an ialah bahwa manusia itu terdiri dari unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani. Ketiga unsur tersebut sama pentingnya untuk di kembangkan. Sehingga konsekuensinya pendidikan harus di desain untuk mengembangkan jasmani, akal, dan ruhani manusia .

Unsur jasmani merupakan salah satu esensi ( hakikat ) manusia sebagai mana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-baqarah ayat 168
 ••                
yang artinya “ Hai sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dari bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan karena sesungguhnya syuetan itu adalah musuh yang nyata bagimu “

Akal adalah salah satu aspek terpenting dalam hakikat manusia. Akal digunakan untuk berpikir, sehingga hakikat dari manusia itu sendiri adalah ia mempunyai rasa ingin, mempunyai rasa mampu, dan mempunyai daya pikir untuk mengetahui apa yang ada di dunia ini .

Sedangkan aspek ruhani manusia di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hijr ayat 29
         
yang artinya “ Tatkala aku telah menyempurnakan kejadiannya, aku tiupkan kedalamnya ruhku.kedalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud “
Dalam hal ini muhammad Quthub menyimpulkan bahwa eksistensi manusia adalah jasmani, akal, dan ruh, yang mana ketiganya menyusun manusia menjadi satu kesatuan .
Al-Kindi dan Al-Farabi memandang manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa yang bersifat imateri dan tubuh yang merupakan campuran dari tanah, air, udara dan api. Di dalam salah satu tulisan mereka, dikatakan bahwa masuknya jiwa ke dalam tubuh merupakan hukuman kepada jiwa yang telah melakukan pelanggaran (melanggar larangan Tuhan, seperti dalam kisah Nabi Adam a.s. dan pasangannya, Hawa). Karena pelanggaran itu, jiwa diusir dari surga, yakni alam rohani dan harus turun ke bumi, masuk ke dalam tubuh. Dengan hukuman itu, jiwa yang mulanya memiliki pengetahuan yang banyak secara aktual, setelah memasuki tubuh, menjadi lupa sama sekali dengan pengetahuannya, dan jadilah pengetahuan itu terdapat dalam jiwa secara potensial saja. Dengan bantuan tubuh dan panca indera tubuh sebagai alat jiwa, secara berangsur-angsur jiwa manusia dapat memiliki kembali pengetahuan secara aktual.
Seperti halnya dengan Al-Kindi dan Al-Farabi, menurut Ibn Sina manusia pada tahap fenomenal terdiri dari jasad dan nafs. Korelasi antara nafs dan jasad bersifat interaksionis, dalam arti masing-masing saling memerlukan. Hanya saja jika nafs telah menjadi sedemikian kuat, ia dapat mempengaruhi jasad dengan sangat luar biasa. Sementara itu dalam tahap transendental, nafs dengan segala potensinya tetap kekal abadi biarpun jasad mengalami kehancuran ketika tahap ini dimulai. Manusia menjadi suatu entitas yang tak terbagi yang tidak lagi memerlukan jasad materi dalam tahap transendentalnya. Penolakan Ibn Sina terhadap adanya kebangkitan jasmani menimbulkan pertentangan pemikiran filosofis. Pertentangan ini memperoleh dimensi baru dalam perspektif kajian fisika moderen yang telah membuktikan tidak adanya perbedaan substansial antara materi dan immateri.
Menurut Ibn Sina antara jasad dan nafs memiliki korelasi sedemikian kuat, saling bantu membantu tanpa henti-hentinya. Nafs tidak akan pernah mencapai tahap fenomenal tanpa adanya jasad. Begitu tahap ini dicapai ia menjadi sumber hidup, pengatur, dan potensi jasad, bagaikan nakhoda (al-rubban) begitu memasuki kapal ia menjadi pusat penggerak, pengatur dan potensi bagi kapal itu. Jika bukan karena jasad, maka nafs tidak akan ada, karena tersedianya jasad untuk menerima, merupakan kemestian baginya wujudnya nafs, dan spesifiknya jasad terhadap nafs merupakan prinsip entitas dan independennya nafs. Tidak mungkin terdapat nafs kecuali jika telah terdapat materi fisik yang tersedia untuknya. Sejak pertumbuhannya, nafs memerlukan, tergantung, dan diciptakan karena (tersedianya) jasad. Dalam aktualisasi fungsi kompleknya, nafs mempergunakan dan memerlukan jasad, misalnya berpikir yang merupakan fungsi spesifiknya tak akan sempurna kecuali jika indera turut membantu dengan efeknya.
Ibn Sina mengemukakan beberapa alasan untuk mendukung pendiriannya bahwa nafs memiliki eksistensi sendiri, tidak inheren dan sebentuk dengan jasad. Pertama Dalil Natural-Psychology, suatu dalil yang berpijak pada perlawanan terhadap gerak natural (pembawaan), dan dalil berikutnya yang berpijak pada capaian pengetahuan (idrak). Di antara berbagai gerak, terdapat suatu gerak yang melawan hukum alam (kajian moderen menyebut gravitasi) : manusia berjalan, burung terbang. Gerak demikian menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur-unsur benda yang bergerak, yakni nafs. Idrak tidak dimiliki semua makhluk, tetapi hanya dimiliki oleh sebagiannya saja. Ini menunjukkan adanya kekuatan pembeda antara sebagian dan sebagian yang lain. Kekuatan pembeda tersebut ialah nafs.
Kedua Dalil Istimrar (continuity) suatu dalil yang menyatakan bahwa berbeda dengan jasad yang mengalami perubahan (dengan kematian serta lahirnya sel-sel baru, menurut bahasa kajian moderen), nafs tidak pernah mengalami perubahan dan pergantian seperti itu. Demikian Ibn Sina dalam risalahnya yang disebut oleh Ahwani.
Ketika Manusia Terbang, suatu dalil yang menyatakan bahwa andaikata orang yang secara organik sempurna berada di angkasa dalam keadaan mata tertutup tidak mengetahui apa-apa, tidak merasakan sentuhan apapun – termasuk dengan anggota badan sendiri – ia tetap yakin terhadap eksistensi dirinya. Dalam keadaan seperti itu jika ia menghayalkan adanya tangan atau anggota tubuh lainnya, maka ia tidak akan menghayalkan sebagai bagian atau syarat bagi eksistensi dirinya. Ini membuktikan bahwa wujud nafs itu berbeda dengan, bahkan bukan jasad.
Serupa dengan Ibnu Sina, Ibn Rusyd juga lebih banyak menjabarkan tentang aktivitas jiwa yang berkorelasi dengan tubuh. Salah satu konsep yang akan kita jabarkan adalah panca indera. Karena di dalamnya kita bisa langsung menangkap bagaimana tubuh pun mempunyai peran dan berkorelasi dengan jiwa.
Mengenai panca indera, Ibn Rusyd menjabarkan bahwa panca indera itu adalah indera pengelitahan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan terakhir peraba. Pengelihatan berfungsi menerima makna secara bebas dari akal potensial, yang bagaimanapun merupakan makna-makna yang bersifat individual. Daya pengelihatan mempersepsi dengan menggunakan perantara transparansi .
Pendengaran. Intinya bahwa dengan menggunakan pendengaran manusia mampu menangkap suara-suara yang muncul akibat benturan dari benda-benda keras. Udara yang bergerak akibat benturan dari benda keras sampai ketelinga. Udara tersebut kemudian menggerakkan udara yang ada dalam telinga sebagai bagian dari tubuh yang berfungsi sebagai alat pendengaran.
Indera Penciuman. Bagian dari fungsi tubuh yang berfungsi sebagai alat untuk menangkap bau. Indera ini membutuhkan air dan udara sebagai perantaranya. Seperti halnya Aristoteles, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa penciuman manusia lebih lemah daripada hewan.
Indera pengecapan (perasa). Sebuah daya untuk menangkap rasa sesuatu. Kerjanya dengan meletakkan objek di atasnya.
Indera peraba. Sebuah daya jiwa yang menggunakan tubuh untuk mengenali objek. Daya yang mengalami kesempurnaan karena berbagai hal yang diraba.
Seperti halnya dengan Ibnu Sina, Ibn Rusyd juga menentang pendapat dari Al-Ghazali. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa tidaklah benar apa yang dikatakan oleh Al Ghazali bahwa para filsuf menolak kebangkitan jasmani. Pandangan Ibn Rusyd mengenai hidup setelah kematian ini banyak mendasarkan diri pada ajaran-ajaran agamanya. Bagi Ibn Rusyd keimanan mengenai kebangkitan jasmani merupakan sebuah keharusan.
Pendasaran untuk hal ini menyangkut ajaran agamanya mengenai amal dan keutamaan-keutamaan dari seseorang sepanjang masa hidupnya. Seseorang yang selama hidupnya mempunyai keutamaan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama, salat,berkurban akan memperoleh balasan saat di akhirat nantinya. Dalam hal ini filsafat membantu seseorang untuk memberikan cara mencapai kebahagiaan kepada manusia yang berpikiran tinggi.
Menurut Al-Ghazali, gambaran Al-Quran dan hadits Nabi SAW tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja. Akan tetapi, pada kehidupan yang bersifat rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani dan merasakan azab neraka yang juga bersifat rohani-jasmani. Kehidupan di surga dan neraka yang bersifat rohani-jasmani itu, menurut Al Ghozali, bukanlah sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu, gambaran Al quran dan hadis Nabi saw haruslah difahami secara hakiki saja. Pemahaman bahwa kehidupan di surga dan neraka bersifat rohani saja, Al Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah jasmani. Ia berkata:
“Tidaklah bertentangan dengan seluruh keyakinan muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spiritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spiritual karena hal itu memang ada secara pasti, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu ”
Pemahaman secara hakiki, menurut akal mereka mustahil. Oleh karena itu, gambaran tersebut haruslah difahami secara majazi. Penggambaran Tuhan tentang alam atau akhirat secara jasmani atau materi, mereka fahami sebagai upaya materialisasi terhadap hal-hal yang bersifat spiritual dan itu adalah upaya yang layak. Penggambaran seperti itu adalah bijaksana .
Sebenarnya, bukan hanya filusuf muslim yang sulit memahami kehidupan alam kubur atau akhirat secarara rohani jasmani, melainkan juga mereka yang bukan filusuf. Karena tidak mudah difahami secara rohani-jasmani, muncul pemahaman dari kalangan sufi bahwa alam kubur atau akhirat itu adalah alam rohani semata. Jasad-jasad yang ada pada alam kubur atau akhirat itu juga bersifat rohani, bukan bersifat jasmani atau materi.





B. Aspek Epistemologi
Orang-orang yang beriman sepenuhnya menyadari bahwa dirinya diciptakan ALLAH SWT, melalui proses yang sama dan tidak berbeda antara satu dengan yang lain. Proses kejadian manusia itu bersifat universal, dan berdasarkan iman diakui kebenaran bahwa nabi Adam AS yang bersifat istimewa proses penciptaannya . Firman ALLAH SWT dalam surah shad ayat 7 yang menjelaskan
          
7. Kami tidak pernah mendengar hal Ini dalam agama yang terakhir Ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan,


Berikutnya di dalam surah Al-Hijr ayat 26 ALLAH SWT berfirman

       • 
26. Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.



Sedangkan di dalam surah yang sama ayat 28 dipertegas lagi sebagai berikut
           • 
28. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk,


Kemudian didalam firmanNYA surah Al-A’raaf ayat 11 dijelaskan bahwa:

                
11. Sesungguhnya kami Telah menciptakan kamu (Adam), lalu kami bentuk tubuhmu, Kemudian kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka merekapun bersujud kecuali iblis. dia tidak termasuk mereka yang bersujud .



Dari firman-firman ALLAH SWT tersebut di atas jelas bahwa Nabi Adam AS diciptakan langsung tanpa perantaraan seorang ayah dan ibu. Diciptakan dari tanah, sebagai bukti ke Maha KuasaanNYA sebagai maha pencipta.
Manusia lain yang diciptakan ALLAH SWT secara langsung adalah Hawa, sebagai istri Nabi Adam AS dan ibu dari semua manusia. Kemudian dari keduanya menghasilkan sangat banyak manusia, hingga akhir zaman kelak. Sedangkan yang lainnya melalui perantaraan bapak dan ibu .
Kajian Ibn Sina tentang manusia sampai pada kesimpulan bahwa manusia tersusun dari jasad dan nafs. Jasad manusia – sebagaimana jasad tumbuh-tumbuhan dan jasad hayawan – terdiri dari empat unsur : api, udara, air, dan tanah kering. Perbedaan proses formulasi dan perbedaan pengaruh potensi astronomik (al-quwa al-falakiyat) menyebabkan perbedaan antara jasad manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, dan sekaligus menyebabkan perbedaan tingkat nafs yang memberi kesempurnaan primer pada masing-masing jasad tersebut. Nafs itu sendiri bukan muncul dari proses formulasi unsur-unsur jasad, tetapi berasal dari sumber luar.
Memperhatikan pandangan filosofis Ibn Sina di atas tampak bahwa ia tergolong pengikut paham dualisme (ithnainiy), sebagaimana pula Aristoteles, Plato, al-Kindi, dan al-Farabi. Sekalipun demikian terdapat pula perbedaan di antara mereka. Bagi Plato, nafs berasal dari dunia ide yang oleh karena itu merupakan substansi immateri yang berbeda dengan jisim . Aristoteles menyatakan bahwa baginya nafs adalah forma bagi jisim yang keduanya membentuk kesatuan esensial yang tidak dapat dipisahkan.
Sementara itu al-Kindi sebagaimana dikemukakan oleh Fakhuri menyatakan bahwa kita datang di alam ini bagaikan penyeberang titian atau jembatan, tidak mempunyai tempat permanen. Kita berharap tempat permanen kita ialah alam tinggi yang luhur yang ke sanalah jiwa kita berpindah sesudah mati. Pernyataan al-Kindi ini jelas tidak memberikan jawaban darimana nafs itu datang, walaupun pernyataannya menunjuk alam tinggi lagi luhur (al-‘alam al-a’la al-sharif) sebagai tempat jiwa kita berpindah sesudah mati. Memang pernyataan tersebut menunjuk adanya keterasingan ketika kita berada di dunia ini, tetapi sekali lagi tetap tampak tidak jelas darimana berasal. Tampaknya dalam hal ini, al-Kindi tidak dapat menentukan sikap berhadapan dengan pemikiran filosofis Plato atau Aristoteles seperti dikemukakan di atas. Persoalan ini menjadi jelas dalam pemikiran filosofis al-Farabi ketika ia mengatakan : “ anna ruhak min amr rabbik wa badanak min khalq rabbik”. Di samping pernyataan ini, al-Farabi juga menyatakan bahwa jiwa-jiwa di bumi (al-anfus al-ardliyat) itu berasal dari pancaran akal aktif (al-‘aql al-fa’’al), akal ke sepuluh yaitu pemberi forma (wahib al-suwar). Dalam hal ini tampak bahwa al-Farabi memakai dua istilah untuk jiwa : ruh dan nafs. Mungkin ia menyamakan antara kedua istilah tersebut, sehingga kedua pernyataannya di atas harus dipahami dengan jalan mengkompromikan sebagai berikut. Bahwa jiwa itu berasal dari Allah melalui pancaran akal ke sepuluh. Jika ia tidak menyamakan kedua istilah tersebut, tentunya ia bermaksud menyatakan bahwa ruh berasal dari Allah, sedang nafs berasal dari akal ke sepuluh .
Sementara itu dalam masalah asal-usul nafs tersebut, Ibn Sina memiliki dua pendapat. Ia menyatakan bahwa nafs baru terjadi setelah jasad siap menerimanya. Jasad itu sendiri merupakan alat bagi nafs. Dengan demikian bagi Ibn Sina, nafs itu tidak terdapat dalam keadaan terpisah dari jasad, lalu bertempat padanya. Dengan kata lain, nafs itu tercipta semata-mata diperuntukkan bagi suatu jasad tertentu, sehingga setiap jasad memiliki nafs yang memang spesifik baginya. Akan tetapi ia juga memiliki pendapat yang berlawanan dengan pendirian ini. Dalam hal ini ia menyebut bahwa nafs itu “habatat ilayk min al-mahall al-arfa’”, suatu pendirian yang mirip dengan teori dunia ide Plato. Menurut Ibn Sina nafs dalam jasad itu bagaikan burung yang terkurung dalam sangkar, merindukan kebebasannya di alam lepas, menyatu kembali dengan alam rokhani, alam asalnya. Setiap kali ia mengingat alam asalnya, ia pun menangis karena rindu ingin kembali.
Mengenai dua pendapat Ibn Sina yang saling berlawanan tersebut memang didapati upaya pengkompromian sebagai berikut. Bahwa nafs parsial terpancar dari nafs universal, akan tetapi nafs tersebut tidak mengaktualisasikan diri, sampai tercipta suatu jasad tertentu baginya. Hanyasaja timbul persoalan dengan adanya pernyataan Ibn Sina bahwa nafs itu turun dalam keadaan enggan untuk kemudian terbelenggu oleh jasad .
Dengan demikian tampaknya dua pendapat tersebut sulit untuk diupayakan pengkompromiannya, kecuali jika dipakai sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang pertama dari segi kajian filosofis, bahwa Ibn Sina tampaknya berusaha menyempurnakan teori Aristoteles dengan cara melepaskan nafs dari sebagai forma menjadi sebagai kamal (penyempurna) bagi badan jasmani. Sedang sudut pandang yang lain ialah dari segi tasawuf : badan kasar manusia adalah belenggu bagi kebebasan nafs menuju alam kerokhaniannya .
Menurut Al-Ghazali manusia terbagi ke dalam tiga dimensi, yaitu dimensi materi, dimensi nabati, dimensi hewani, dan dimensi kemanusiaan. Dalam tiga dimensi itu struktur jiwa manusia terdiri atas al-qalb, al-ruh, al-nafs, dan al-aql. Unsur yang empat ini mengerucut pada satu makna yakni latifah atau al-ruh al-rabbaniyyah yang merupakan esensi manusia yang memiliki daya cerap, mengetahui dan mengenal, dan sekaligus menjadi obyek pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya .
Menurut Ibnu Rusyd dalam diri manusia terdapat dua unsur yang tetap menjadi satu substansi, yaitu tubuh dan jiwa (forma dan materi). Artinya terjadi sebuah korelasi dari keduanya yang membentuk menjadi seorang manusia.jiwa sebagai suatu kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanis mempunyai sifat yang satu. Jiwa adalah sesuatu yang berilmu. Dalam kegiatan berilmu itu jiwa membutuhkan tubuh untuk wadah eksistensinya. Tubuh menangkap materi yang ada objek yang ada di luar, kemudian jiwa merenungkannya. Secara khusus melihat indera-indera dalam tubuh .
Ibn Rusyd berpendapat mengenai jiwa yang selalu dikaitkan dengan jiwa univeresal (Tuhan). Pandangan Ibn Rusyd tentang tubuh dan jiwa yang dipengaruhi oleh Aristoteles sebenarnya sangat menarik. Namun karena selalu dikaitkan dengan jiwa yang universal akhirnya membawa konsekuensi pada penyangkalan kebakaan jiwa perorangan .
Hal ini tentu saja membawa pada sebuah kontradiksi dalam diri Ibn Rusyd. Dia yang juga memegang bahwa adanya hidup setelah kematian, namun juga menolak adanya eksistensi jiwa perorangan setelah kematian. Bagaimana mungkin jiwa tidak baka, jika ternyata di akhirat dia juga mengatakan akan ada balasan bagi manusia yang melakukan kehendak Tuhan dalam agama, mempunyai keutamaan-keutamaan, dan sebagainya .

C. Aspek aksiologi
Maksud penciptaan manusia ada di muka bumi bukan karena kehendaknya sendiri. Kehadirannya itu adalah kehendak ALLAH SWT yang telah menciptakannya melalui perantaraan kedua orang tuanya. Oleh karena itu tidak seorang pun yang mempunyai untuk menjadi ada atau tidak ada, untuk lahir atau tidak dilahirkan, termasuk juga orang tuanya yang menjadi perantara penciptaannya.
ALLAH SWT melalui firman-firmanNYA berusaha menjelaskan dan menyadarkan bahwa penciptaan manusia bkanlah sesuatu yang sia-sia, sehubung dengan itu ALLLAH berfirman:
          •  
        •   
       

(36). Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?(37). Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim),(38). kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya,(39). Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan(.40). Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?

Dengan demikian berarti secara universal ALLAH SWT telah menetapkan tugas tertentu yang pasti dan tidak berubah-rubah dalam menciptakan manusia sejak manusia yang pertama hingga akhir zaman kelak. Untuk itu akan dinilai juga tingkat efisiensi dan efektivitas manusia melaksanakan tugas tersebut. Bagi yang melaksanakan dengan baik maka akan mendapatkan ganjaran atau pahala sesuai kualitas pekerjaannya, sebaliknya bagi yang menyia-nyiakannya akan mendapatkan siksa.
Tujuan utama manusia diciptakan ALLAH SWT difirmankanNYA secara jelas di Dalam al-qur’an:
      
56. Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku .
Tujuan lain ALLAH SWT menciptakan manusia sebagai khalifah, hal ini dijelaskan dalam firmanNYA:
                     •         

30. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. "
Firman lain yang menerangkan tujuan penciptaan manusia ialah:
                           

39. Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. barangsiapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka .
Dalam menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi, berarti tujuan ALLAH SWT untuk memberikan peluang kepada manusia guna mensyukuri nikmat dan karuniaNYA. Bersyukur dengan melakukan kegiatan memelihara lingkungan hidupnya, agar bumi menjadi tempat yang layak untuk dihuni.

Al-Kindī berpendapat bahwa setiap jenis predikat menunjukkan kesatuan dan keanekaragaman. Misalnya hewan, adalah salah satu genus, tetapi terdiri dari sebuah keragaman spesies. Manusia adalah satu spesies tetapi terdiri dari banyak individu dan manusia yang tunggal adalah salah satu individu dari individu-individu yang lain terdiri dari banyak bagian tubuh. Selanjutnya, ia beragurmen, keragaman itu memiliki hubungan produk integral. Satu bagian, bukanlah disebabkan oleh setiap serangkaian bagian yang lain. Berarti, harus ada penyebab luar untuk semua keanekaragaman yang integral tersebut, penyebab itu satu, eksklusif dan sepenuhnya bebas dari keragaman yang multi genus. Yang Satu itulah Yang Benar, yang tidak lain adalah Tuhan .
Wujud Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud, eksistensi dan keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh akal manusia. Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi, sebagai utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui media yang dinamakan wahyu. Al-Kindī, secara jelas meyakini bahwa rasio manusia memiliki sisi kelemahan. Karena kelemahan itulah, tidak semua pengetahuan tidak bisa ditangkap oleh akal. Maka untuk membantu pemahaman yang tidak bisa dijelaskan akal maka, manusia perlu dibimbing oleh wahyu. Hanya saja, dalam aspek penjelasan sifat-sifat Tuhan, al-Kindī masih terpengaruh oleh Mu’tazilah dan Aristoteles. Hal itu misalnya, dilihat dari penjelasannya bahwa sifat-sifat Tuhan diungkapkan dengan bentuk kalimat negatif, yaitu dengan ungkapan “tidak” atau “bukan”. Bahwa Tuhan itu tidak seperti manusia
Menurut Al Ghazali tujuan manusia adalah kebahagiaan ukhrawi (as saadah al ukhrawiyah), yang biasa diperoleh jika persiapan yang perlu untuk dilakukan dalam hidup ini dengan mengendalikan sifat-sifat manusia dan bukan dengan membuangnya. Kelakuan manusia dianggap baik, jika itu membantu dalam kehidupan akhiratnya. Kebahagiaan ukhrawi adalah tema sentral ajaran para rasul dan demi menggerakkan orang kearah itulah, maka semua kitab suci diwahyukan. Karna itu, ilmu danakal adalah syarat pokok untuk mencapai kebahagiaan. Kemuliaan menurut Allah terletak pada usaha mencapai kebahagiaan ukhrawi, barang siapa yang gagal mencapainya maka lebih hina dari hewan yang hina. Karna hewan-hewan akan musnah dan orang yang gagal tersebut akan menderita dan sengsara.
Kebahagiaan ukhrawi mempunyai empat ciri khas, yakni: berkelanjutan tanpa akhir, kegembiraan tanpa duka cita, pengetahuan tapa kebodohan dan kecukupan (ghina) yang tdak membutuhkan apa-apa lagi guna keputusan yang sempurna. Tentu saja kebahagiaan yang di maksud Al Quran dan Al Hadis adalah surga, sedangkan tempat kesengsaraan adalah Neraka. Nasib setiap orang akan ditentukan pada hari kebangkitan, tetapi akibat kebhagiaan dan kesengsaraan itu akan dimulai setelah kematian. Pada haari kebangkitan, jiwa itu dikembalikn pada suatu jasad; orang yang bangkit itu akan mempunnyai badan dan jiwa, dan akan hidup abadi dalam bentuk ini.

Sebagaimana Al-Farabi, yang menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.

Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mengandung arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan – akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan. Ibn Sina menyatakan bahwa nafs al-insan ialah kesempurnaan primer bagi jasad alami yang organis dari segi melakukan berbagais aktifitas yang ada dengan dasar ikhtiar fikri dan mengambil kesimpulan dengan nalar, serta dari segi mengetahui hal-hal yang universal .
Nafs disebut oleh Ibn Sina sebagai kesempurnaan karena nafs itu dipandang sebagai kamal dari segi sebagai potensi yang memberikan kesempurnaan pada persepsi serta sebagai sumber berbagai aktifitas. Demikian pula nafs yang terpisah juga disebut kamal, seperti juga nafs yang tidak terpisah. Adapun nafs disebut sebagai kesempurnaan primer dimaksudkan sebagai kausal bagi species menjadi species, sedang kesempurnaan skunder merupakan atribut pengikat pada species. Sementara itu istilah jism digunakan dalam arti genusnya bukan fisik materialnya, sedang kata thabi’iy dipakai untuk membedakan dari jisim sinaiy (artifisial), demikian penjelasan Rayyan dalam kajiannya terhadap Ibn Sina .
Ibn Rusyd dalam tulisannya yang berjudl Fil Nafsi menegaskan bahwa antara nyawa (al-Ruh) dengan jiwa (al Nafis) merupakan dua realitas yang berbeda. Namun yang menarik adalah Ibn Rusyd bahwa ketika berbicara tentang ruh, Ibn Rusyd menggunakan ayat dalam Al Quran di dalam surat al-Isra ayat 85. Isinya kurang lebih mengatakan bahwa ruh itu urusan Tuhanku. Manusia tidak diberika ilmu sedikitpun tentang itu. Kutipan penjelasn di bawah ini bisa langsung menghantar kita untuk semakin jelas mengenali apa itu jiwa :
“Jiwa berbeda dengan nyawa, dan juga dengan akal. Jiwa itu suatu zat, dan bukan suatu tubuh. Jiwa adalah sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia. Syailul lazi yashbahu bihil insanu insianan, artinya jiwa itu sesuatu yang hidup dan berilmu dan berkodrat.”
Kutipan paragraf di atas seolah ingin menekankan bahwa kegiatan jiwa lebih pada seputar kegiatan berpikir. Hal tersebut yang kemudian membuat Ibn Rusyd mendeskripsikan jiwa sebagai suatu kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanis. Disebut alamiah dan mekanistik dengan tujuan ingin membedakan dengan kesempurnaan-kesempurnaan yang berasal dari perilaku dan emosi. Makna kesempurnaan ini pun ingin juga mengarahkan pada keberagaman dari bagian jiwa, seperti jiwa nutrisi, jiwa sensorik, jiwa khayalan, jiwa hasrat dan jiwa rasional. Definisi tersebut sebenarnya sudah dipakai oleh Aristoteles dalam mendeskripsikan jiwa.




















BAB III
KESIMPULAN
Hakikat manusia menurut al-Qur’an ialah bahwa manusia itu terdiri dari unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani. Ketiga unsur tersebut sama pentingnya untuk di kembangkan. Sehingga konsekuensinya pendidikan harus di desain untuk mengembangkan jasmani, akal, dan ruhani manusia.
Akal adalah salah satu aspek terpenting dalam hakikat manusia. Akal digunakan untuk berpikir, sehingga hakikat dari manusia itu sendiri adalah ia mempunyai rasa ingin, mempunyai rasa mampu, dan mempunyai daya pikir untuk mengetahui apa yang ada di dunia ini.
Orang-orang yang beriman sepenuhnya menyadari bahwa dirinya diciptakan ALLAH SWT, melalui proses yang sama dan tidak berbeda antara satu dengan yang lain. Proses kejadian manusia itu bersifat universal, dan berdasarkan iman diakui kebenaran bahwa nabi Adam AS yang bersifat istimewa proses penciptaannya.
Maksud penciptaan manusia ada di muka bumi bukan karena kehendaknya sendiri. Kehadirannya itu adalah kehendak ALLAH SWT yang telah menciptakannya melalui perantaraan kedua orang tuanya. Oleh karena itu tidak seorang pun yang mempunyai untuk menjadi ada atau tidak ada, untuk lahir atau tidak dilahirkan, termasuk juga orang tuanya yang menjadi perantara penciptaannya.
Dalam menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi, berarti tujuan ALLAH SWT untuk memberikan peluang kepada manusia guna mensyukuri nikmat dan karuniaNYA. Bersyukur dengan melakukan kegiatan memelihara lingkungan hidupnya, agar bumi menjadi tempat yang layak untuk dihuni.

DAFTAR PUSTAKA
Nawawi Hadari, 1993.Hakekat Manusia Menurut Islam Usana Offset Printing
Islam Syarif, M.M. 2004. Aliran-Aliran Filsafat Bandung: Nuansa Cendekia.
http://hankkuang.wordpress.com/2008/12/07/al- farabi -1126-1198-m/, Diakses pada Tanggal 19 Mei 2010, Pukul 19.30 WIB
Nasution, Hasyimsah, M.A, 1999 Filsafat Islam” Gaya Media Pratama, Jakarta
Kusno Sudaryanto,1993 Sinkritisme Filsafat dan Agama menurut Ibnu Rusyd, Surabaya : ALPHA
Yunasril Ali,1990 Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara
Ja’far Soedjarwo,1990 Al Janibul Illahi, Surabaya: Al-Ikhlas
Aristoteles, De Anima, 1978 terjemahan Inggris oleh D.W. Hamlyn, Oxford : Clarendon Press
Fakhuri, Hana al. Dan Khalil al-Jarr, 1958 Tarikh al-Falsafat al-‘Arabiyah, Beirut : Dar al-Ma’arif
Muhammad ‘Ali Abu Rayyan, 1967 al-Falsafat al-Islamiyat,Iskandariyah : al-Dar al-Qaumiyah
Sibawaihi, 2004 Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman,Yogyakarta: Penerbit
Dedi Supriyadi, 2009 Pengantar Filsafat Islam, CV. Pustaka Setia: Bandung http://miklotof.wordpress.com/2010/09/12/manusia-dalam-konsep-filsafat-ibn-sina/ 14 Mei 2011
Fakhuri, Hana al. dan Khalil al-Jarr. 1958 Tarikh al-Falsafah al-‘Arabiyyah. (Dar al-Ma’arif:Beirut
A.F.Ahwani. 1952 Ibn Sina Risalat fi Ma’rifat al-Nafs al-Natiqat wa Ahwaliha.Dar al-Ma’arif:Kairo

1 komentar:

  1. Harrah's Casino Pittsburgh PA - Mandara Sportsbook
    Harrah's Philadelphia 경산 출장안마 PA is offering a $200,000 fine 문경 출장샵 for violating the rules regarding 대구광역 출장샵 casino gaming operations, according to a release 나주 출장안마 by 거제 출장안마

    BalasHapus