Cari Blog Ini

Minggu, 18 Maret 2012

Kontoversi ayat –ayat mutasyabbihat dan kajian ta’wil atasnya menurut ulama’ muata’akhkhirin!


Kontoversi ayat –ayat mutasyabbihat dan kajian ta’wil atasnya  menurut ulama’ muata’akhkhirin!

A.    Pendapat ulama’  mengenai ayat muhkamat dan mutasyabbihat
Apakah arti dan maksud aayt-ayat mutasyabbihat itu dapat diketahui maksudnya oleh umat manusia atau tidak , ada dua pendapat diantara para ulama’ . sebagian ulama’ mengatkan bahwa arti dan ayat-ayat mutasyabbihat itu dapat diketahui oleh umat manusia , sebagian ulama’ lain mengatakan tidak dapat .
Yang menjadi pangkal perselisihan ialah mereka berbeda pendapat dalam memahami ayat 7 surah Ali Imran :
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷ƒy tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ㍩.¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
 Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat [183], itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mu- tasyaabihaat [184]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. [183] Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. [184] Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
Yang mereka perselisihkan ialah pakah kalimat : warraasikhuna fil ‘ilmi  itu diathafkan (disambungkan ) dengan  lafal Allah yang sebelumnya , sedang kalimat yaquuluuna aamanna bihi itu menjadi hal dari lafadz ar-raasikhunaa? Ataukah kalimat warraasikhuna fil ‘ilmi  itumenjadi mubtada’ (subjek ) , sedang kalimat yaquuluuna aamanna bihi itu  menjadi khabar (prediket )nya , sedang huruf wawu berfungsi sebagai huruf/tanda isti’naf (huruf permulaan)?
a.       Imam mujahid dan sahabat-sahabatnya serta Imam Nawawi mwmilih pewndapat yang pertama , yakni bahwa lafadz warraasikhuna fil ‘ilmi  itu diathafkan (disambungkan ) dengan  lafal Allah . pendapat ini berasal dari riwayat Ibnu Abbas.
b.      Kebanyakan sahabat , tabi’in dan tabi’it tabi’in serta orang-orang setelah mereka , memilih pendapat kedua . yakni bahwa kalimat warraasikhuna fil ‘ilmi  itumenjadi mubtada’ (subjek ) , sedang kalimat yaquuluuna aamanna bihi itu  menjadi khabar (prediket )nya. Dan riwayat ini adalah lebih shahih disbanding dengan riwayat lainnya . dalil yang mendasari pendapat yang kedua ini ialah sebagai berikut :
1)      Riwayat Abd.Rozzaq dalam tafsirnya dan riwayat Al-Hakim dalam Mustadraknya , berasal dari Ibnu Abbas r.a., bahwa dia membaca :
2)      Ayat 7 surah aliImran mencela orang-orang yang mencari ayat-ayat mutasyabbihat dan menyifati mereka dengan condong kepada kesesatan dan mencari-cari fitnah . dan dalam ayat itu Allah SWT memuji mereka yang menyerahkan urusan-urusan jyang samara itu kepada Allah SWT dengan firman-Nya :
3)      Hadits Riwayat Al-Bukhori dan Muslim dan lain-lain dari ‘Aisyah .dia mengatakan  bahwa Rasulullah SAW setelah membaca ayat 7 surah Ali Imran itu , beliau  bersabda :
Artinya :” Maka  kalau kamu melihat mereka yang mencari-cari hal-hal yang samar itu , mereka itulah yang menamakan Allah , maka hindarilah mereka itu .”
Para ulama’ juga berlainan paham mengenai kemuhkaman al-qur’an dan kumutasyabbihannya . sebab , dalam al-Qur’an ada ayat-ayat yang menerangkan bahwa semua al-qur’an itu muhkam , seperti ayat 1 surah Hud , dan ada pula ayat-ayat yang menjelaskan bahwa semuanya mutasyabbih , seperti ayat 23 syrah az-Zumar . sebagaiman ada juga ayat –ayat yang ada sebagian al-Qur’an yang muhkam dan sebagian yang lain mutasyabbih , seperti ayat 7 surah ali Imran .
Ada tiga pendapat para ulama’ mengenai masalah tersebut , sebagai berikut :
1.      Pendapat pertama berpendidrian bahwa semua al-Qur’an itu mukam , berdasarkan ayat 1 surah Hud :
2.      Pendapat yang kedua mengatakan bahwa al-qur’an seluruhnya mutasyabbih , dala arti yang saling bersesuaian yang sebagian dengan bagian yang lain. Hal ini berdasarkan ayat 23 surah Az-Zumar :
3.      Pendapat yang ketiga mengatkan bahwa Al-Qur’an itu terdiri dari dua bagian , yakni muhkam dan mutasyabbih. Pendapat ini berdasarkan ayat 7 surah Ali Imran :
Jika dilihat sepintas , seolah –olah hanya pendapat yang ketiga yang benar dan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam al-Qur’an . tetapi jika diamati secara sekasama , sebenarnya semua pendapat yang itu semua pendapat itu benar dan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam al-qur’an .  sebab , ketiga pendapat itu ada dalilnya dalam al-qur’an , dan semuanya juga benar cara istidlal masing –masing . yang berbeda hanya orientasi pendapat masing-masing itu .
Pendapat pertama orientasinya dititikberatkan pada masalah  kebaikan , kerapian susunan tertib ayat –ayatnya , dan kekuatan atau kemutlakn kebenarannya yaqng absolute , yang tidak ditimpa kerusakan ataupun kejanggalan lafal maupun isi maknanya , sehingga al-qur’an itu seperti suatu8 banguna yang kokoh kuat , tak tergoyahkan sedikitpun . hal itu disebabkan sentral pandangan merekla difokuskan  pada arti Uhkimat aayaatuhu yang diorientasikan  kepada segi kebaikan , kerapian dan kebenaran lafal dan maknanya , serta tidak adany6a kekurangan maupun kerancauan .
Pendapat yang kedua memfokuskan titik pandang pada segi relevansi , homogenitas dan keserasian susunan al-qur’an , baik dalam soal aturan-aturan hukumya , atau soal keindahan sastra seni balaghohnya yang mencapai klimaks  kemukjizatan , maupun soal kerapian susunann kata dan keterkaitan inti isi maknanya seluruh ataupun dipisahkan yang sebagian ayat/kalimatnya dari bagian yang lain. Hal itu menyebabkan rangkaina kata /kalimat itu bagikan untaian suatu kesatuan yang bulat , utuh menkjubkan , sehingga tidak bias ditemuka mana ujungnya dan mana pangkalnya , karena sudah menyatu bulat ketat. Sentral pendapat kedua ini diorientasikan pada arti kalimat ayat :                                   (suatu kitab yang serupoa /sama mutu ayat-ayatnya lagi berulang-ulang ). Sebab memang alqur’an itu sebagiannya menyerupai sebagian yang lain dalam berbagai segi yang tersebut diatas .
Pendapat yang ketiga memeng secara tegas melendingkan orientasinya pada segi realitas ndan eksisitensi kitab suci in9i , baik dalam segi isi aturan-aturan hu7kumnya ataup[un dalam segi susunan lafal  ayat /surah-surahnya yang betulk-betul jelas, tegas dan lugas , disamping ada pula yang samar , lentur dan fleksibel serta elastis.
Tetapi sebagian ulama’ ada yang mengatkan bahwa ayat 7 srah ali Imran tersebut tidak menunjukkan bahwa alquran itu terbatas pada muhkam dan mutasyabbih saja . sebab tidak tampak disana adanya ujung pemisah antara keduanya . hal itu dikarenakan adanya ayat 44 surah An-Nahl yang berarti memang Allah SWT sendiri menghendaki adanya penjelasan-penjelasn dari Nabi Muhammmad SAW . padahal mestinya yang muhkam itu tidak perlu penjelasan , sedangkan yang mutasyabbih tidak ada harapan kejelasannya .
Maka sebenarnya daiantar ketiga pendapat para ulama tersebut tidak ada pertentangan anatra yang satu dengan yanmg lain , bahkan Nampak adanya persamaan dan persesuaian .
Yang Nampak adanya pertentangan diantara para ulama’ ialah perselisihan mereka mengenai apakah ayat-ayat mutasyabbihat itu harus ditafsiri agar diketahui arti dan maksudnya untuk diamalkan ? ataukah tidak perlu ditafsiri dan cukup dimani eksisitensinya  saja , soal artinya diserahkan kepada Allah saja?
Dalam hal ini ada tiga pendapat para ulama’ sebagi berikut :
1.         Pendapat Jumhur ulama ahlus sunnah dan sebagian ahli Ra’yi8 , mengatakan bahwa arti dan maksud ayat-ayat mutasyabbihat itu tidak perlu ditafsiri , melainkan cukup diimani adanya dan diserahkan kepada Allah SWT sja makna dan maksudnya , demi untuk me-Maha Sucikan-Nya . dasar yang menjadi landasan pendapat mereka ialah dalil-dalil sebagi berikut :
1)      hadits yang diriwiyatkan oleh Abu Qasim dari Umi Salamh ketika menafsirkan ayat 5 surah Thaha :
arrahmaanu ‘alal ‘arsyistawa ( Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy), maka beliau berkata :

artinya :”cara (bersemayam Allah ) itu tidak dapat dinalar , tetapi bersemayamnya Allah itu tidak samar lagi , dan mengakuinya termasuk yang harus diimani , sebab mengingkarinya adalah kufur. “
2)      riwayat Zubaiq bin Abi abdur rahman , ketika dia ditanya tentang arti ayat 5 surah Thaha tersebut , maka dia berkata :

artinya : “ mengimani hal itu tidak diragukan lagi , tetapi cara (bersemayam Allah) itu tidak dapat dinalar dan hal itu termasuk tugas krisalah Rasul , dan wajib atas Rasul tabligh yang jelas , dan wajib atas kita mempercayainya.”
3)      Riwayat Zubaiq dari Imam  Malik bahwa ia juga pernah ditanya arti ayat 5 surah Thaha tersebut , maka dia berkat :
Artinya :” caranya tidak dapat dinalar , padahal bersemayam itu tidak samar . maka mengimaninya adalah wajib sedangkan memepersoalkan hal itu adalah bid’ah .”
4)      Riwayat Al-Laliky dari Muhammad Ibnul Hasan , yang berkat : “ sesungguhnya Fuqaha’ dari Timur dan Barat sepakat bahwa wajib mengimani saja pada ayat-ayat sifat (mutasyabbihat) dengan tidak perel;u menafsirkan atau pun meragukannya.”
5)      Imam Turmudzi dalam mengomentari hadits ini mengatakan , bahwa demikian itulah pendirian semua ahli ilmu , seperti Sufyan at-Tsauri , Malik, Ibnul Mubarok , Ibnu Uyainah , Waki’ bin Jarrah dan lain-lain. Mereka berkata :” kita mengannggap hadits-hadits itu sebagaiman adanya. Kita cukup mengimaninya , dan tidak menanyakan bagaiman serta tidak menafsirkan dan tidak pula meragukannya.”
2.    Pendapat segolongan Ulama ahlus sunnah dan kebanyakan Ahli Ra’yi berpendapat bahwa perlu menakwilkan ayat-ayat mutasyabbihat yang relevan dengan keagungan Allah SWT . sebab menurut mereka tidak boleh dalam kitab suci Al-qur’an itu sesuatu /lafal/kalimat/ayat yangt tidak bias diketahui umat manusia . minimal harus dapat diketahui oleh orang-orang yang Roosikhfil Ilmi (memndalam ilmunya). Dasar dari pendapat mereka ini ialah dalil-dalil sebagai berikut :
1)      Riwayat dari Al-Lalikay yang berbunyi :  inna istawa bima’na istaula (bahwa istawa itu berarti menguasai ).
2)      Riwayat Abu Ubaid yang berkat : inna istawa bima’na sho’ida ( bahwa istawa itui berarti naik ).
3)      Riwayat Ibnul Lubban yang berkata :
Artinya :” istiwa’ yang dikaitkan kepada Allah SWT itu berarti dail atau tepat . maka jelaslah bahwa Allah SWT itu dengan kekuatann-Nya menganugerahi segala makhluk ciptaan-Nya itu disertai dengan kebijaksanaan-Nya yang Maha Tinggi.”
3.         Pendapat segolongan ulama lain diantaranya seperti Ibnu Daqiqil ‘Id menengahi antar kedua pendapat tersebut , yaitu bahwa kalau menakwilkan ayat-ayat mutasyabbihat itu relevan dengan bahasa arab , maka tidak boleh diingkari dan perlu diterima . tetapi jika ta’wilan-ta’wilannya itu jauh dari bahasa arab , maka harus ditawaqqufkan (ditangguhkan) dan tidak diamalkan serta cukup diimani maksudnya yang sesuai denagn ke-Maha Sucian Allah SWT . jadi , kalau makna ayat-ayat mutasyabbihat itu jelas dan selaras dengan percakapan bahasa arab sehari-hari , dapatlah diterima dan diamalkan.
Contohnya seperti ayat 56 surah az-zumar :
Kata fii jambillahi  oleh para mufassir dita’wilkan dengan “ tidak menunaiokan kewajiban-kewajiban kepada Allah”, sehingga dapat diterima dan diamalkan , sebab dekat dengan penafsiran hal itu  dealam percakapan orang arab . dasar pendapat ketiga ini ialah pendapat para ulama’:
Artinya :” semua sifat yang hakikatnya tidak mungkin diterapkan kepada Allah SWT itu harus ditafsirkan dengan kelayakan –kelay6akannya (dengan makanya yang layak ).”
B.            Faedah ayat muhkamat dan mutasyabbihat
Dalam pembahasan ini perlu dijelaskan faedah/hikmah ayat-ayat muhkam lebih dahulu sebelum menerangkan faedah/hikamh ayat-ayat mutasyabbihat
a.              Hikmah ayat muhkamat
Adanya ayat-ayat muhkamat dalam kitab al-Quran , jelas banyak faedah /hikamhnya bagi umat manusia , sebaqgi berikut :
a)      Menjadi rahmat bagi manusia , khususnya orang yang kemampuan bahsa arabnya lemah. Dengan adanay ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya , sangat besar arti dan faedahnay bagi mereka. Denagn demikian , mereka tidak perlu susah –susah mempelajari apa arti maksud ayat itu , karana arti maksud ayat itu sudah cukup terang dan gamblang .
b)      Memudahkan manusia mengetahui arti dan maksudnya . juga memudahkan mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
c)      Mendorong umat untuk giat memahami , mengahyati , dan mengamalakn isi kandungan al-Qur’an , karena lafal ayat-ayatnya sudah mudah diketahui , gampang dipahami , dan jelas pula untuk diamalkan .
d)     Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam memepelajari isi ajarannay , karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat dapat menjelaskan arti maksudnay , tidak harus menunggu penafsiran atau penjelasan dari lafal /ayat/surah yang lain.
e)      Memperlancar usaha penafsiran
b.             Hikmah ayat mutasyabbihat
Adanya ayat-ayat mutasyabbihat dalam al-qur’an membawa faedah/hikamah yang banyak juga . bahkan , lebih banyak daripada hikamh ayat yang muhkamat di atas. Hikmah adanay ayat-ayat mutasyabbihat itu ialah sebagai sebagai berikut :
a)              Rahmat Allah SWT sebab sifat dan zat Allah SWT itu ditampakkan kepada manusia yang lemah itu. Karena itu , Allah SWT menyamarkan sifat dan zat-Nya dalam ayat-ayat mutasyabbihat itu adalah jelas merupakan rahmat Allah SWT yang besar bagi manusia. Jika tidak disamarkan , bisa jadi merupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar