IBNU KATSIR.
1. Biografi
Nama
lengkap Ibnu Katsir ialah, Abul Fidâ` ‘Imaduddin Isma’il bin Syeikh Abi Hafash
Syihabuddin Umar bin Katsir bin Dla`i Ibnu Katsir bin Zarâ` al-Qursyi
al-Damsyiqi. Ia di lahirkan di kampung Mijdal, daerah Bashra sebelah timur kota
Damaskus pada tahun 700 H. Ayahnya berasal dari Bashra, sementara ibunya
berasal dari Mijdal. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Hfsh Umar ibnu Katsir. Ia
adalah ulama yang faqih serta berpengaruh di daerahnya. Ia juga terkenal dengan
ahli ceramah. Hal ini sebagaimana di ungkapkan Ibnu Katsir dalam kitab
tarikhnya (al-Bidâyah wa al-Nihâyah). Ayahnya lahir sekitar tahun 640 H, dan ia
wafat pada bulan Jumadil ‘Ula 703 H. di daerah Mijdal, dan dikuburkan di sana.[1]
Ibnu Katsir
adalah seorang pemikir dan ulama Muslim. Beliau lahir pada tahun 1301 di Busra,
Suriah dan wafat pada tahun 1372 di Damaskus, Suriah. Tercatat, guru pertamanya
adalah Burhanuddin al-Fazari, seorang ulama penganut mazhab Syafi'i. Ia berguru
kepada Ibnu Taymiyyah di Damaskus, Suriah dan kepada Ibnu al-Qayyim. Ibnu
Katsir menulis tafsir Qur'an yang terkenal yang bernama Tafsir Ibnu Katsir.
Hingga kini, tafsir ini merupakan yang paling sering digunakan dalam dunia
Islam.[2]
Sebagian pendapat yang lain mengatakan bahwa Nama lengkap ibnu katsir ialah,
Isma’il bin Umar bin Katsir bin Dhau bin Dhar’in yang kemudian dipanggil “Abu
al-Fida” dan beliau dijuluki dengan “Imaduddin” yang berarti tiang agama, yang
sampai sekarang ini beliau terpanggil dengan sebutan “Al-Hafidh Ibnu Katsitr”.[3]
Beliau terlahir di desa Mujadal
Negeri Syam tahun.701 H. Guru-guru beliau adalah
- Imam
Ibnu Asakir.
- Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah.
- Imam
Al-Miziy.
- Imam
Al-fazari.
Dia
termasuk seorang pakar dalam bidang fikih, tafsir, nahwu, sejarah, hadits, dan
ilmu rijal hadits.Dalam kesibukannya dia selain sebagai seorang mufti yang
sangat diakui keilmuannya oleh ulama pada waktu itu, dia juga seorang pengajar.[4]
Ibnu Katsir
adalah anak yang paling kecil di keluarganya. Hal ini sebagaimana yang ia utarakan;
anak yang paling besar di keluarganya laki-laki, yang bernama Isma’il,
sedangkan yang paling kecil adalah saya. Kakak laki-laki yang paling besar
bernama Ismail dan yang paling kecilpun Ismail.
Sosok ayah
memang sangat berpengaruh dalam keluarga. Kebesaran serta tauladan ayahnyalah
pribadi Ibnu Katsir mampu menandingi kebesaran ayahnya, bahkan melebihi
keluasan ilmu ayahnya. Dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, serta
senantiasa menjunjung nilai-nilai keilmuan, mampu melahirkan sosok anak saleh
dan bersemangat dalam mencari mutiara-mutiara ilmu yang berharga dimanapun.
Dengan modal usaha dan kerja keras Ibnu Katsir menjadi sosok ulama yang
diperhitungkan dalam percaturan keilmuan.
Ibnu Katsir
mulai sedari kecil mencari ilmu. Semenjak ayahnya wafat -kala itu Ibnu Katsir
baru berumur tiga tahun-, selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahab yang
mendidik dan mengayomi Ibnu Katsir kecil. Dan genap usia sebelas tahun, Ia
selesai menghafalkan al-Qur`an.
Pada tahun
707 H, Ibnu Katsir pindah ke Damaskus. Ia belajar kepada dua Grand Syeh
Damaskus, yaitu Syeikh Burhanuddin Ibrahim Abdurrahman al-Fazzari (w. 729)
-terkenal dengan Ibnu al-Farkah- tentang fiqh Syafi’i. lalu belajar ilmu ushul
fiqh ibn Hâjib kepada syeh Kamaluddin bin Qodi Syuhbah. Lalu ia berguru kepada;
Isa bin Muth’im, Syeikh Ahmad bin Abi Thalib al-Muammari (w. 730), Ibnu Asakir
(w. 723), Ibnu Syairazi, Syeikh Syamsuddin al-Dzhabi (w. 748), Syeikh Abu Musa
al-Qurafi, Abu al-Fatah al-Dabusi, Syeikh Ishaq bin al-Amadi (w. 725), Syeikh
Muhammad bin Zurad. Ia juga sempat ber-mulajamah kepada Syeikh
Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi (w. 742), sampai ia mendapatkan pendamping
hidupnya. Ia menikah dengan salah seorang putri Syeikh al-Mazi. Syeikh al-Mazi,
adalah yang mengarang kitab “Tahdzîbu al-kamâl” dan “Athrâf-u
al-kutub-i al-sittah“.
Begitu pula, Ibnu
Katsir berguru Shahih Muslim kepada Syeikh Nazmuddin bin al-Asqalani. Selain
guru-guru yang telah dipaparkan di atas, masih ada beberapa guru yang mempunyai
pengaruh besar terhadap Ibnu Katsir; mereka adalah Ibnu Taymiyyah. Banyak
sekali sikap Ibnu Katsir yang terwarnai dengan Ibnu Taymiyah, baik itu dalam
berfatwa, cara berpikir juga dalam metode karya-karyanya. Dan hanya sedikit
sekali fatwa beliau yang berbeda dengan Ibnu Taymiyyah.
2. KARYA-KARYANYA.
Sosok ulama seperti Ibnu Katsir,
memang jarang kita temui, ulama yang lintas kemampuan dalam disiplin ilmu.
Spesialisasinya tidak hanya satu jenis ilmu saja. Selain itu, ia juga sangat
produktif dalam karya, telah banyak karya-karya yang lahir dari tangan dan
ketajaman berpikirnya. Di antara karya-karya beliau adalah :
a. KARYA-KARYA
KITABNYA.
* “Tafsîr al-Qur`an al-Azhîm“.
Kitab tafsir ini, sering dijadikan
rujukan oleh setiap ulama. Metode analisisnya sangat tajam, yang membuat
kekhasan tersendiri dalam tafsir ini. Para ulama mengkategorikan tafsir ini
pada tafsir bil-ma`tsûr.
* “Al-Bidâyah wa al-Nihâyah.”
Buku ini membahas tentang sejarah.
Buku ini sering dijadikan rujukan para peneliti sejarah. Sumbernya begitu
autentik. Karyanya ini berisikan berbagai tinjauan sejarah.
Pertama, pemaparan
tentang sejarah dan kisah Nabi-nabi beserta umatnya di masa lalu. Kisah ini
ditopang dengan dalil-dalil yang kuat, baik itu dari Al-Qur`an maupun
Al-Sunnah, juga pendapat-pendapat para mufassir, muhaddits dan sejarawan.
Kedua, Ia
menguraikan secara jelas mengenai bangsa Arab jaman jahiliyah, kemudian bangsa
Arab ketika kedatangan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dan perjalanan dakwah
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam beserta para sahabatnya. Buku ini di akhiri
dengan kisah Dazzal, juga ia ungkapkan mengenai tanda-tanda kiamat lainnya.
* “Al-Takmîl fî makrifati
al-tsiqât wa al-dlu’afâ` wa- al majâhil.”
Buku ini adalah rujukan dalam ilmu
hadist serta untuk mengetahui jarh wa ta’dil. karya ini adalah karya
gabungan dua karya Imam Dzahabi yaitu Tahdzîbu al-kamâl fî asmâ`i al rijâl
dan Mîzân al i’tidâl fî naqdi al-rijâl dengan tambahan dalam jarh wa
ta’dil.
* “Al-Hadyu wa al-sunan fî
ahâdits al-masânid wa al-sunan” atau yang masyhur dengan istilah jâmi’
al-masânid.
Dalam kitab ini, Ibnu Katsir
menggabungkan kitab musnad Imam Ahmad (w.241), Al-Bajjar (w.291), Abi Ya’la
w.307) Ibnu Abi Syaibah (w.297)\bersama kitab yang enam. Kemudian Ia
menyusunnya dengan bab per bab.
* “Al-Sîrah al-Nabawiyah.”
* “Al-Musnad
al-Syaikhân “(musnad Abu Bakar dan Umar).
* “Syamâil al-rasûl wa
dalâilu nubuwwatihi wa fadlâilihi wa khashâ`isihi “ (di nukil dari kitab bidâyah
wa nihâyah).
* “Ikhtishar al-sîrah
al-Nabawiyah.” Di ambil dari bidâyah wa nihâyah terkhusus mengenai
kisah bangsa Arab jaman jahiliyah dan jaman Islam serta sirah Nabi shallallaahu
'alaihi wasallam.
* “Al-Ahâdîts al-tawhîd wa
al-rad ‘alâ al-syirik.”
* “Syarah
Bukhari.”
* “Takhrîj
ahâdîts muktashar Ibnu al-Hâjib.”
* “Takhrîj ahâdîts adillatu
al-tanbîh fî fiqh al-Syafi’i.”
* “Muktashar kitab Baihaqi”
(al-madkhal ilâ al-sunan).
* “Ikhtishar ‘ulûmu
al-hadîts li Ibnu al-Shalâh.”
* “Kitâb al-Simâ’.”
* “Kitâb al-Ahkâm.”
* “Risâlah al-jihâd.”
* “Thabâqât al-Syafi’iyyah.”
* “Al-Ahkâm
al-Kabîrah.”
* “Al-Bahits
al-Hadits ila Ma’rifati Ulumul Qur’an.”[5]
* “Al-Kawakib adh-Dharari.”[6]
* “Al-Ijtihad wa Thalab
Al-Jihad.”
* “Al-Wadih An-Nafis fi
Manaqib Al-Imam Muhammad bin Idris.”[7]
b. KARYA
TAFSIRNYA.
Salah satu karyanya yang terkenal
dalam ilmu tafsir adalah yang berjudul :
·
Tafsir Alquran al-Karim sebanyak 10
jilid. Kitab ini masih menjadi bahan rujukan sampai sekarang karena pengaruhnya
yang begitu besar dalam bidang keagamaan. Di samping itu, ia juga menulis buku
·
Fada'il Alquran (Keutamaan Alquran),
berisi ringkasan sejarah Al-Quran.
c. KARYA SEJARAHNYA.
Bidang ilmu sejarah
juga dikuasainya. Beberapa karya Ibnu Katsir dalam ilmu sejarah ini antara
lain :
·
Al-Bidayah wa an Nihayah (Permulaan
adn Akhir) sebanyak 14 jilid,
·
Al-Fusul fi Sirah ar-Rasul (Uraian
Mengenai Sejarah Rasul), dan
·
Tabaqat asy-Syafi'iyah
(Peringkat-peringkat Ulama Mazhab Syafii).
Kitab sejarahnya
yang dianggap paling penting dan terkenal adalah judul yang pertama. Ada dua
bagian besar sejarah yang tertuang menurut buku tersebut, yakni sejarah kuno
yang menuturkan mulai dari riwayat penciptaan hingga masa kenabian Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam dan sejarah Islam mulai dari periode dakwah Nabi
ke Makkah hingga pertengahan abad ke-8 H. Kejadian yang berlangsung setelah
hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian tersebut. Tercatat, kitab Al-Bidayah
wa an-Nihayah merupakan sumber primer terutama untuk sejarah Dinasti Mamluk di
Mesir. Dan karenanya kitab ini seringkali dijadikan bahan rujukan dalam
penulisan sejarah Islam.
3. METODOLOGI
TAFSIRNYA.
Karakater karya
seseorang tidak akan bisa dilepaskan dari kecondongan minat orang tersebut,
kira-kira seperti itu jugalah tafsir Ibnu katsir. Sosok Ibnu Katsir yang
condong kepada keabsahan turats telah ikut mewarnai karyanya. Begitu juga hal
ini tidak bisa lepas dari kondisi jaman saat itu, perhelatan aliran pemikiran
pada abad ke 7/8 H memang sudah kompleks. Artinya telah banyak aliran pemikiran
yang telah ikut mewarnai karakter seseorang.
Pemahaman yang
orisinil untuk mempertahankan keontetikan Qur`an dan sunnah terus dijaga inilah
sebagian pewarnaan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Selain itu, kelompok-kelompok
yang mengagungkan akal secara berlebihan dan thariqah-thariqah shufiyah telah
beredar luas kala itu. Islam telah berkembang pesat dan banyak ‘agamawan’ yang
masuk ke dalam Islam. Hal ini ikut pula mempengaruhi /mewarnai perkembangan
wawasan pemikiran.
Ibnu Katsir yang
telah ter-sibghah dengan pola pikir gurunya (Ibnu Taymiyah) sangat
terwarnai dalam metode karya-karyanya. Sehingga dengan jujur Ia berkata, bahwa
metode tafsir yang ia gunakan persis sealur dan sejalur dengan gurunnya Ibnu
Taimiyah. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa tafsir Ibnu katsir telah
menjadi rujukan kategori tafsir bil-ma’tsur. Yang tentunya hal ini tidak
bisa dipisahkan dari metode beliau dalam karyanya.
Metode yang ia gunakan dalam
karyanya adalah sebagai berikut:
Ø Menafsirkan Al-Qur`an dengan
Al-Qur`an. Pendeknya, Ia menjelaskan satu ayat dengan ayat yang lain, karena
dalam satu ayat di ungkapkan dengan abstrak (mutlak) maka pada ayat yang lain
akan ada pengikatnya (muqayyad). Atau pada suatu ayat bertemakan umum maka pada
ayat yang lain di khususkan. Ibnu Katsir menjadikan rujukan ini berdasarkan
sebuah ungkapan, “bahwa cara yang paling baik dalam penafsiran, adalah
menafsirkan ayat dengan ayat yang lain”.
Ø Menafsirkan al-Qur`an dengan
Sunnah. Banyak sekali firman Allah Ta'ala yang menyuruh untuk taat kepada Allah
dan Rasul-Nya (baca, Q.s. 3:32, Q.s. 4;59, dll). Begitu juga banyak
hadist-hadits yang memerintahkan hal tersebut. Oleh karena itulah, Ibnu Katsir
menjadikan Sunnah sebagai referensi kedua dalam penafsirannya. Bahkan dalam hal
ini, Ibnu Katsir tidak tanggung-tanggung untuk menafsirkan suatu ayat dengan
berpuluh-puluh hadits, bahkan mencapai lima puluh hadits.Kasus ini bisa dilihat
ketika menafsirkan surat al-Isrâ.
Ø Tafsir Qur`an dengan perkataan
sahabat. Ibnu Katsir berkata, jika kamu tidak mendapati tafsir dari suatu ayat
dari Al-Qur`an dan Sunnah, maka jadikanlah para sahabat sebagai rujukannya,
karena para sahabat adalah orang yang adil dan mereka sangat mengetahui kondisi
serta keadaan turunnya wahyu. Ia menjadikan konsep ini berdasarkan beberapa
riwayat, di antaranya atas perkataan Ibnu Mas’ud: “demi Allah tidak suatu
ayat itu turun kecuali aku tahu bagi siapa ayat itu turun dan di mana turunnya.
Dan jika ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai kitab Allah,
pastilah aku akan mendatanginya“. Juga riwayat yang lain mengenai
didoakannya Ibnu Abbas oleh Rasululllah saw, “ya Allah fahamkanlah Ibnu
Abbas dalam agama serta ajarkanlah ta’wil kepadanya“.
Ø Menafsirkan dengan perkataan
tabi’in. Cara ini adalah cara yang paling akhir dalam cara menafsirkan
Al-Qur`an dalam metode bil-ma`tsur. Ibnu Katsir merujuk akan metode ini, karena
banyak para ulama tafsir yang melakukannya, artinya, banyak ulama tabi’in yg
dijadikan rujukan dalam tafsir. Seperti perkataan ibn Ishaq yang telah menukil
dari Mujahid, bahwa beliau memperlihatkan mushaf beberapa kali kepada Ibnu
Abbas, dan ia menyetujuinya. Sufyan ats-Tsawri berkata, “jika Mujahid
menafsirkan ayat cukuplah ia bagimu”. Selain Mujahid, di antara ulama tabi’in
adalah Sa’id bin Jabir, Ikrimah, Atha’ bin Rabah, Hasan al-Bashri, Masruq bin
al-Ajdi, Sa’id bin Musayyab, Abu al-’aliyah, Rabi’ bin Anas, Qatadah, al-Dahhak
bin muzaahim Radliyall^ahu ‘anhum.
Ø Ra’yu atau akal. Pada
dasarnya Ibnu Katsir sangat tidak berkenan jika dalam referensinya menggunakan
akal yang tidak di landasi pijakan keilmuan apapun. Jika ini adanya, ia sangat
tidak setuju bahkan mengharamkannya, sekalipun penafsirannya betul. Ibnu katsir
memperkuat argumennya ini dengan landasan sebuah hadits, “barang siapa yang
berbicara dalam al-Qur`an dengan ra’yunya, dan dengan sesuatu yang tidak
diketahuinya, maka bersiap-siaplah menempati neraka”. Ini di satu sisi,
sementara di sisi lain, ia memperbolehkan penafsiran dengan ra’yu jika di
dasari keilmuan. Pendek kata, memenuhi dan mumpuni dalam sarat-sarat yang telah
ditentukan. Sikap Ibnu Katsir ini tentunya mempunyai sandaran dan landasan yang
ilmiyah hal ini bisa kita cermati ketika Ia memberikan argumennya baik argumen
naql ataupun aql. Dalil naql yang Ia gunakan, salah satunya
ialah hadis Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam “Barang siapa yang ditanya,
kemudian ia menyembunyikan “kesaktiannya”, ia akan diberi kedali dari api di
akhirat nanti” Dalil ini, Ia komunikasikan dengan ungkapan Ibnu Abbas, “tafsir
itu 4 jenis, orang Arab yang mengerahui orientasinya karena kearabannya
(bahasa), tafsir seseorang yang tidak berdalil karena ketidak tahuannya, tafsir
yang hanya diketahui oleh ulama saja dan tafsir yang hanya diketahui oleh Allah
Ta'ala saja”. Sementara dalil logikanya Ia lontarkan, ketika seseorang
tidak boleh menafsirkan karena ketidaktahuannya, maka tidak mengapa jika
seseorang menafsirkan karena “kesaktiannya”, yang sesuai dengan syara dan
dialek bahasa (kafabel dalam bidangnya). [8]
Keistimewaan tafsir Ibnu Katsir ini bisa kita
abtrasikan ke dalam beberapa diktum di bawah ini :
1) Nilai kandungan tafsir tersebut tidak hanya
tafsir bil-ma’tsur saja yang menghimpun riwayat serta khabar, Tapi beliau juga
menghimpun referensi yang lain.
2) Menghimpun ayat-ayat yang serupa dengan
menjelaskan rahasia yang dalam dengan keserasiannya, keselarasan lafadhnya,
kesimetrisan uslubnya serta keagungan maknanya.
3) Menghimpun hadits dan khabar baik itu
perkataan sahabat dan tabi’in. Dengan menjelaskan derajat hadits atau riwayat
tersebut dari shahih dan dla’if, dengan mengemukakan sanad serta mata rantai
rawi dan matannya atas dasar ilmu “jarh wa ta’dîl.” Pada
kebiasaannya dia rajihkan aqwal yang shahih dan menda’ifkan riwayat
yang lain.
4) Keterkaitan tafsir ini dengan pengarangnya
yang mempunyai kafabilitas mumpuni dalam bidangnya. Ibnu Katsir ahli tafsir,
tapi diakui juga sebagai muhaddits, sehingga dia sangat mengetahui sanad suatu
hadits. Oleh karenanya, ia menyelaraskan suatu riwayat dengan naql
yang shahih dan akal sehat. Serta menolak riwayat yang munkar dan riwayat yang
dusta, yang tidak bisa dijadikan hujjah baik itu di dunuia ataupun di akhirat
kelak.
5) Jika ada riwayat israiliyat Ia
mendiskusikannya serta menjelaskan kepalsuannya, juga menyangkal kebohongannya
dengan menggunakan konsep “jarh wa ta’dil.” Keenam,
mengekspresikan manhaj “al-salâfu al-shaleh” dalam metode dan cara
pandang, sebagaimana yang tertera dalam Qur`an dan Sunnah.
6) Keistimewaan yang lain yang merupakan ciri
khas tafsir Ibnu Katsir adalah, daya kritisnya yang tiggi terhadap
cerita-cerita Israiliyat yang banyak tersebar dalam kitab-kitab tafsir
bil-Ma’tsur, baik secara global maupun secara mendetail.[9]
KELEMAHAN METODOLOGI TAFSIR IBNU KATSIR.
Ibnu Katsir, sebagaimana manusia biasa,
tentunya tidak akan terlepas dari sifat lupa, maupun salah. Dari hasil
penelitian, terdapat beberapa catatan yang mengungkapkan adanya kesamaran dalam
karyanya. Sejauh ini, yang penulis ketahui, catatan tersebut adalah buah karya
para peneliti ulama Azhar, yang melakukan research terhadap karya-karya klasik.
Hasil tahqiq turats yang di gencarkan oleh pihak universitas, setidaknya hal
ini telah memberikan kontribusi yang berharga dalam menjaga warisan klasik.
Memang catatan yang ditujukan kepada
tafsir ini tidak mengurangi keilmiahan dan nilai tafsir ini Insyaallah-. Dalam
hal ini, catatan tersebut di uraikan sebagai berikut;
1. Kesalahan dalam penyandaran. Contohnya,
dalam tafsir surat Âli ‘Imrân:169. Ia menyebutkan riwayat Ahmad; tsana Abdul
Samad, tsana Hamâd, tsana Tsabit, ‘an Anas marfû’an, “mâ min nafsin tamûtu
laha…” al-hadits. Ibnu katsir berkata, “tafarrada bihi muslim min tharîq
Hamâd“. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Muslim dari jalan Humed dan Qatadah
dari Anas. Imam Muslim tidak mengeluarkan hadits ini dari Tsabit melalui jalur
Anas. Sebenarnya yang meyendiri itu adalah riwayat Ahmad, “tafarrada bihi ahmad
min tharîq Hamâd“.
2. Kesalahan dalam nama sahabat yang
meriwayatkan hadits, atau penyandaran hadits kepada sahabat, padahal tidak
terdapat hadits sahabat tersebut dalam bab ini. Seperti, tafsir surat Yusûf
ayat 5. Dalam penafsiran surat ini, Ia mengungkapkan hadits yang diriwayatkan
oleh imam Ahmad dan sebagian Ahli Sunan dari Muawiyyah Ibnu Haydah al-Qusyayrî
sesungguhnya dia berkata, Rasulullah bersabda, “al-Ru`ya ‘alâ rajuli thâ`ir mâ
lam tu’bar…..“. Seperti inilah yang tertera dalam musnad Muawiyyah Ibnu Haydah
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah
serta yang lainnya meriwayatkan hadits dari Abi Rizin al-’Uqayli. Padahal
hadits ini tidak diriwayatkan dari Muawiyyah, melainkan dari Abi Rizin
al-’Uqayli.
3. Kesalahan dalam mata rantai sanad. Contoh,
tafsir surat al-An’am:59 dari Ibnu Abi Hâtim dengan sanadnya kepada Malik Ibnu
Sa’îr, Tsanâ al-A’mas, dari Yazid Ibnu Abi Ziyad dari Abdullah Ibnu Al-Harits
dia berkata, “mâ fî al-ardli min syajaratin….“. Ibnu Katsir berkata, seperti
inilah Ibnu Jarir meriwayatkan (11/13308), Ziyad ibn Yahya al-Hasani Abu
al-Khathab. Sementara dalam tafsir Ibnu katsir di dapati bahwa yang
meriwayatkan itu, Ziyad Ibnu Abdullah al-Hasani Abu al-Khatab. Ini jelas
keliru, karena riwayat yang sebenarnya ialah Malik Ibnu Sa’ir melalui jalan
Ziyad Ibnu Yahya al-Hasani Abu al-Khatab dari Ziyad.
4. Kurang menyentuh dalam menyandarkan riwayat.
Contoh, sebagaimana yang Ia ungkapkan dalam menafsirkan surat Âli ‘Imrân:180.
Ia mengemukakan hadits, “lâ ya`ti al-rajulu mawlâhu fayas`aluhu…“. Ibnu Katsir
merasa cukup menyandarkan dalam periwayatannya kepada ibn Jarir dan Ibnu
Mardaweh. Padahal, hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Nasâ`i
dan yang lainnya, yang lebih utama untuk di sandarkan.
5. Lupa dalam menukil beberapa perkataan ulama.
Contonya, tafsir surat al-A’raf:8. Ia menyebutkan hadits riwayat imam Tirmidzi.
Imam Tirmidzi mengomentari hadits ini dengan ungkapan, “rawâhu tirmidzi wa
shahhahahu“. Padahal yang sebenarnya ialah, “rawahu tirmidzi wa qâla, hadza
al-hadîts hasan gharîb“.
Itulah
sekilas tentang bagaimana seorang Ibnu Katsir menafsirkan wahyu Allah serta
dilengkapi dengan sekilas tentang biografi beliau. Dari itulah Ibnu Katsir juga
menetapkan syarat dan adab yang mendukung otoritas metodologi
penafsirannya.Kualitas dan dan tingkat karyanya ditentukan oleh kualitas
pribadinya.Syarat dan adab inilah yang merupakan tradisi keulamaannya,
khususnya di bidang tafsir dan Ulumul-Qur’an. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua terutama bagi kaum Muslimin yang ingin memperdalam
lagi keilmuan tafsirnya.
[1] Abdur Rahman adz-Dzarqiy, Bidayatun Nihayah, Beirut
Libanon, 1999, Cet.V, hal.7.
[3] Syaikh mohammad Sa’id an-Nursiy, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,Jakarta;
Pustaka Al-Kautsar, 2007, Cet.I, hal.348.
[4] Ibid.348.
[5] Abdurrahman Ad-dzarqiy, Op.,Cit, 348.
[6] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Op.,Cit.478.
[7] Ibid
[8] Ibid.
[9] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar