Cari Blog Ini

Minggu, 18 Maret 2012

Ibnu Katsir


IBNU KATSIR.
1.      Biografi
     Nama lengkap Ibnu Katsir ialah, Abul Fidâ` ‘Imaduddin Isma’il bin Syeikh Abi Hafash Syihabuddin Umar bin Katsir bin Dla`i Ibnu Katsir bin Zarâ` al-Qursyi al-Damsyiqi. Ia di lahirkan di kampung Mijdal, daerah Bashra sebelah timur kota Damaskus  pada tahun 700 H. Ayahnya berasal dari Bashra, sementara ibunya berasal dari Mijdal. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Hfsh Umar ibnu Katsir. Ia adalah ulama yang faqih serta berpengaruh di daerahnya. Ia juga terkenal dengan ahli ceramah. Hal ini sebagaimana di ungkapkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya (al-Bidâyah wa al-Nihâyah). Ayahnya lahir sekitar tahun 640 H, dan ia wafat pada bulan Jumadil ‘Ula 703 H. di daerah Mijdal, dan dikuburkan di sana.[1]  
     Ibnu Katsir adalah seorang pemikir dan ulama Muslim. Beliau lahir pada tahun 1301 di Busra, Suriah dan wafat pada tahun 1372 di Damaskus, Suriah. Tercatat, guru pertamanya adalah Burhanuddin al-Fazari, seorang ulama penganut mazhab Syafi'i. Ia berguru kepada Ibnu Taymiyyah di Damaskus, Suriah dan kepada Ibnu al-Qayyim. Ibnu Katsir menulis tafsir Qur'an yang terkenal yang bernama Tafsir Ibnu Katsir. Hingga kini, tafsir ini merupakan yang paling sering digunakan dalam dunia Islam.[2]
      Sebagian pendapat yang lain mengatakan bahwa Nama lengkap ibnu katsir ialah, Isma’il bin Umar bin Katsir bin Dhau bin Dhar’in yang kemudian dipanggil “Abu al-Fida” dan beliau dijuluki dengan “Imaduddin” yang berarti tiang agama, yang sampai sekarang ini beliau terpanggil dengan sebutan “Al-Hafidh Ibnu Katsitr”.[3]
Beliau terlahir di desa Mujadal Negeri Syam tahun.701 H. Guru-guru beliau adalah
  1. Imam Ibnu Asakir.
  2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
  3. Imam Al-Miziy.
  4. Imam Al-fazari.
     Dia termasuk seorang pakar dalam bidang fikih, tafsir, nahwu, sejarah, hadits, dan ilmu rijal hadits.Dalam kesibukannya dia selain sebagai seorang mufti yang sangat diakui keilmuannya oleh ulama pada waktu itu, dia juga seorang pengajar.[4]
     Ibnu Katsir adalah anak yang paling kecil di keluarganya. Hal ini sebagaimana yang ia utarakan; anak yang paling besar di keluarganya laki-laki, yang bernama Isma’il, sedangkan yang paling kecil adalah saya. Kakak laki-laki yang paling besar bernama Ismail dan yang paling kecilpun Ismail.
     Sosok ayah memang sangat berpengaruh dalam keluarga. Kebesaran serta tauladan ayahnyalah pribadi Ibnu Katsir mampu menandingi kebesaran ayahnya, bahkan melebihi keluasan ilmu ayahnya. Dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, serta senantiasa menjunjung nilai-nilai keilmuan, mampu melahirkan sosok anak saleh dan bersemangat dalam mencari mutiara-mutiara ilmu yang berharga dimanapun. Dengan modal usaha dan kerja keras Ibnu Katsir menjadi sosok ulama yang diperhitungkan dalam percaturan keilmuan.
     Ibnu Katsir mulai sedari kecil mencari ilmu. Semenjak ayahnya wafat -kala itu Ibnu Katsir baru berumur tiga tahun-, selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahab yang mendidik dan mengayomi Ibnu Katsir kecil. Dan genap usia sebelas tahun, Ia selesai menghafalkan al-Qur`an.

     Pada tahun 707 H, Ibnu Katsir pindah ke Damaskus. Ia belajar kepada dua Grand Syeh Damaskus, yaitu Syeikh Burhanuddin Ibrahim Abdurrahman al-Fazzari (w. 729) -terkenal dengan Ibnu al-Farkah- tentang fiqh Syafi’i. lalu belajar ilmu ushul fiqh ibn Hâjib kepada syeh Kamaluddin bin Qodi Syuhbah. Lalu ia berguru kepada; Isa bin Muth’im, Syeikh Ahmad bin Abi Thalib al-Muammari (w. 730), Ibnu Asakir (w. 723), Ibnu Syairazi, Syeikh Syamsuddin al-Dzhabi (w. 748), Syeikh Abu Musa al-Qurafi, Abu al-Fatah al-Dabusi, Syeikh Ishaq bin al-Amadi (w. 725), Syeikh Muhammad bin Zurad. Ia juga sempat ber-mulajamah kepada Syeikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi (w. 742), sampai ia mendapatkan pendamping hidupnya. Ia menikah dengan salah seorang putri Syeikh al-Mazi. Syeikh al-Mazi, adalah yang mengarang kitab “Tahdzîbu al-kamâl” dan “Athrâf-u al-kutub-i al-sittah“.
    Begitu pula, Ibnu Katsir berguru Shahih Muslim kepada Syeikh Nazmuddin bin al-Asqalani. Selain guru-guru yang telah dipaparkan di atas, masih ada beberapa guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibnu Katsir; mereka adalah Ibnu Taymiyyah. Banyak sekali sikap Ibnu Katsir yang terwarnai dengan Ibnu Taymiyah, baik itu dalam berfatwa, cara berpikir juga dalam metode karya-karyanya. Dan hanya sedikit sekali fatwa beliau yang berbeda dengan Ibnu Taymiyyah.
2.      KARYA-KARYANYA. 
    Sosok ulama seperti Ibnu Katsir, memang jarang kita temui, ulama yang lintas kemampuan dalam disiplin ilmu. Spesialisasinya tidak hanya satu jenis ilmu saja. Selain itu, ia juga sangat produktif dalam karya, telah banyak karya-karya yang lahir dari tangan dan ketajaman berpikirnya. Di antara karya-karya beliau adalah :
a.      KARYA-KARYA KITABNYA.
*  “Tafsîr al-Qur`an al-Azhîm“.
Kitab tafsir ini, sering dijadikan rujukan oleh setiap ulama. Metode analisisnya sangat tajam, yang membuat kekhasan tersendiri dalam tafsir ini. Para ulama mengkategorikan tafsir ini pada tafsir bil-ma`tsûr.

“Al-Bidâyah wa al-Nihâyah.”
Buku ini membahas tentang sejarah. Buku ini sering dijadikan rujukan para peneliti sejarah. Sumbernya begitu autentik. Karyanya ini berisikan berbagai tinjauan sejarah.  
Pertama, pemaparan tentang sejarah dan kisah Nabi-nabi beserta umatnya di masa lalu. Kisah ini ditopang dengan dalil-dalil yang kuat, baik itu dari Al-Qur`an maupun Al-Sunnah, juga pendapat-pendapat para mufassir, muhaddits dan sejarawan.  
Kedua, Ia menguraikan secara jelas mengenai bangsa Arab jaman jahiliyah, kemudian bangsa Arab ketika kedatangan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dan perjalanan dakwah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam beserta para sahabatnya. Buku ini di akhiri dengan kisah Dazzal, juga ia ungkapkan mengenai tanda-tanda kiamat lainnya.

“Al-Takmîl fî makrifati al-tsiqât wa al-dlu’afâ` wa- al majâhil.”
Buku ini adalah rujukan dalam ilmu hadist serta untuk mengetahui jarh wa ta’dil. karya ini adalah karya gabungan dua karya Imam Dzahabi yaitu Tahdzîbu al-kamâl fî asmâ`i al rijâl dan Mîzân al i’tidâl fî naqdi al-rijâl dengan tambahan dalam jarh wa ta’dil.

“Al-Hadyu wa al-sunan fî ahâdits al-masânid wa al-sunan” atau  yang masyhur dengan istilah jâmi’ al-masânid.
Dalam kitab ini, Ibnu Katsir menggabungkan kitab musnad Imam Ahmad (w.241), Al-Bajjar (w.291), Abi Ya’la w.307) Ibnu Abi Syaibah (w.297)\bersama kitab yang enam. Kemudian Ia menyusunnya dengan bab per bab.

“Al-Sîrah al-Nabawiyah.”
 *  “Al-Musnad al-Syaikhân “(musnad Abu Bakar dan Umar).
“Syamâil al-rasûl wa dalâilu nubuwwatihi wa fadlâilihi wa khashâ`isihi “ (di nukil dari kitab bidâyah wa nihâyah).
“Ikhtishar al-sîrah al-Nabawiyah.” Di ambil dari bidâyah wa nihâyah terkhusus mengenai kisah bangsa Arab jaman jahiliyah dan jaman Islam serta sirah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam.
“Al-Ahâdîts al-tawhîd wa al-rad ‘alâ al-syirik.”
 “Syarah Bukhari.”
 “Takhrîj ahâdîts muktashar Ibnu al-Hâjib.”
“Takhrîj ahâdîts adillatu al-tanbîh fî fiqh al-Syafi’i.”
“Muktashar kitab Baihaqi” (al-madkhal ilâ al-sunan).
“Ikhtishar ‘ulûmu al-hadîts li Ibnu al-Shalâh.”
“Kitâb al-Simâ’.”
“Kitâb al-Ahkâm.”
“Risâlah al-jihâd.”
“Thabâqât al-Syafi’iyyah.”
*   “Al-Ahkâm al-Kabîrah.”
*   “Al-Bahits al-Hadits ila Ma’rifati Ulumul Qur’an.”[5]
“Al-Kawakib adh-Dharari.”[6]
“Al-Ijtihad wa Thalab Al-Jihad.”
“Al-Wadih An-Nafis fi Manaqib Al-Imam Muhammad bin Idris.”[7]
b.      KARYA TAFSIRNYA.
Salah satu karyanya yang terkenal dalam ilmu tafsir adalah yang berjudul :
·  Tafsir Alquran al-Karim sebanyak 10 jilid. Kitab ini masih menjadi bahan rujukan sampai sekarang karena pengaruhnya yang begitu besar dalam bidang keagamaan. Di samping itu, ia juga menulis buku
·  Fada'il Alquran (Keutamaan Alquran), berisi ringkasan sejarah Al-Quran.
c.        KARYA SEJARAHNYA.
    Bidang ilmu sejarah juga dikuasainya. Beberapa karya Ibnu Katsir dalam ilmu sejarah ini antara lain :
·  Al-Bidayah wa an Nihayah (Permulaan adn Akhir) sebanyak 14 jilid,
·  Al-Fusul fi Sirah ar-Rasul (Uraian Mengenai Sejarah Rasul), dan
·  Tabaqat asy-Syafi'iyah (Peringkat-peringkat Ulama Mazhab Syafii).
    Kitab sejarahnya yang dianggap paling penting dan terkenal adalah judul yang pertama. Ada dua bagian besar sejarah yang tertuang menurut buku tersebut, yakni sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat penciptaan hingga masa kenabian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan sejarah Islam mulai dari periode dakwah Nabi ke Makkah hingga pertengahan abad ke-8 H. Kejadian yang berlangsung setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian tersebut. Tercatat, kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah merupakan sumber primer terutama untuk sejarah Dinasti Mamluk di Mesir. Dan karenanya kitab ini seringkali dijadikan bahan rujukan dalam penulisan sejarah Islam.

3.      METODOLOGI TAFSIRNYA.
    Karakater karya seseorang tidak akan bisa dilepaskan dari kecondongan minat orang tersebut, kira-kira seperti itu jugalah tafsir Ibnu katsir. Sosok Ibnu Katsir yang condong kepada keabsahan turats telah ikut mewarnai karyanya. Begitu juga hal ini tidak bisa lepas dari kondisi jaman saat itu, perhelatan aliran pemikiran pada abad ke 7/8 H memang sudah kompleks. Artinya telah banyak aliran pemikiran yang telah ikut mewarnai karakter seseorang.
    Pemahaman yang orisinil untuk mempertahankan keontetikan Qur`an dan sunnah terus dijaga inilah sebagian pewarnaan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Selain itu, kelompok-kelompok yang mengagungkan akal secara berlebihan dan thariqah-thariqah shufiyah telah beredar luas kala itu. Islam telah berkembang pesat dan banyak ‘agamawan’ yang masuk ke dalam Islam. Hal ini ikut pula mempengaruhi /mewarnai perkembangan wawasan pemikiran.
    Ibnu Katsir yang telah ter-sibghah dengan pola pikir gurunya (Ibnu Taymiyah) sangat terwarnai dalam metode karya-karyanya. Sehingga dengan jujur Ia berkata, bahwa metode tafsir yang ia gunakan persis sealur dan sejalur dengan gurunnya Ibnu Taimiyah. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa tafsir Ibnu katsir telah menjadi rujukan kategori tafsir bil-ma’tsur. Yang tentunya hal ini tidak bisa dipisahkan dari metode beliau dalam karyanya.

Metode yang ia gunakan dalam karyanya adalah sebagai berikut:

Ø  Menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an. Pendeknya, Ia menjelaskan satu ayat dengan ayat yang lain, karena dalam satu ayat di ungkapkan dengan abstrak (mutlak) maka pada ayat yang lain akan ada pengikatnya (muqayyad). Atau pada suatu ayat bertemakan umum maka pada ayat yang lain di khususkan. Ibnu Katsir menjadikan rujukan ini berdasarkan sebuah ungkapan, “bahwa cara yang paling baik dalam penafsiran, adalah menafsirkan ayat dengan ayat yang lain”.

Ø  Menafsirkan al-Qur`an dengan Sunnah. Banyak sekali firman Allah Ta'ala yang menyuruh untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya (baca, Q.s. 3:32, Q.s. 4;59, dll). Begitu juga banyak hadist-hadits yang memerintahkan hal tersebut. Oleh karena itulah, Ibnu Katsir menjadikan Sunnah sebagai referensi kedua dalam penafsirannya. Bahkan dalam hal ini, Ibnu Katsir tidak tanggung-tanggung untuk menafsirkan suatu ayat dengan berpuluh-puluh hadits, bahkan mencapai lima puluh hadits.Kasus ini bisa dilihat ketika menafsirkan surat al-Isrâ.

Ø  Tafsir Qur`an dengan perkataan sahabat. Ibnu Katsir berkata, jika kamu tidak mendapati tafsir dari suatu ayat dari Al-Qur`an dan Sunnah, maka jadikanlah para sahabat sebagai rujukannya, karena para sahabat adalah orang yang adil dan mereka sangat mengetahui kondisi serta keadaan turunnya wahyu. Ia menjadikan konsep ini berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya atas perkataan Ibnu Mas’ud: “demi Allah tidak suatu ayat itu turun kecuali aku tahu bagi siapa ayat itu turun dan di mana turunnya. Dan jika ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai kitab Allah, pastilah aku akan mendatanginya“. Juga riwayat yang lain mengenai didoakannya Ibnu Abbas oleh Rasululllah saw, “ya Allah fahamkanlah Ibnu Abbas dalam agama serta ajarkanlah ta’wil kepadanya“.

Ø  Menafsirkan dengan perkataan tabi’in. Cara ini adalah cara yang paling akhir dalam cara menafsirkan Al-Qur`an dalam metode bil-ma`tsur. Ibnu Katsir merujuk akan metode ini, karena banyak para ulama tafsir yang melakukannya, artinya, banyak ulama tabi’in yg dijadikan rujukan dalam tafsir. Seperti perkataan ibn Ishaq yang telah menukil dari Mujahid, bahwa beliau memperlihatkan mushaf beberapa kali kepada Ibnu Abbas, dan ia menyetujuinya. Sufyan ats-Tsawri berkata, “jika Mujahid menafsirkan ayat cukuplah ia bagimu”. Selain Mujahid, di antara ulama tabi’in adalah Sa’id bin Jabir, Ikrimah, Atha’ bin Rabah, Hasan al-Bashri, Masruq bin al-Ajdi, Sa’id bin Musayyab, Abu al-’aliyah, Rabi’ bin Anas, Qatadah, al-Dahhak bin muzaahim Radliyall^ahu ‘anhum.

Ø  Ra’yu atau akal. Pada dasarnya Ibnu Katsir sangat tidak berkenan jika dalam referensinya menggunakan akal yang tidak di landasi pijakan keilmuan apapun. Jika ini adanya, ia sangat tidak setuju bahkan mengharamkannya, sekalipun penafsirannya betul. Ibnu katsir memperkuat argumennya ini dengan landasan sebuah hadits, “barang siapa yang berbicara dalam al-Qur`an dengan ra’yunya, dan dengan sesuatu yang tidak diketahuinya, maka bersiap-siaplah menempati neraka”. Ini di satu sisi, sementara di sisi lain, ia memperbolehkan penafsiran dengan ra’yu jika di dasari keilmuan. Pendek kata, memenuhi dan mumpuni dalam sarat-sarat yang telah ditentukan. Sikap Ibnu Katsir ini tentunya mempunyai sandaran dan landasan yang ilmiyah hal ini bisa kita cermati ketika Ia memberikan argumennya baik argumen naql ataupun aql. Dalil naql yang Ia gunakan, salah satunya ialah hadis Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam “Barang siapa yang ditanya, kemudian ia menyembunyikan “kesaktiannya”, ia akan diberi kedali dari api di akhirat nanti” Dalil ini, Ia komunikasikan dengan ungkapan Ibnu Abbas, “tafsir itu 4 jenis, orang Arab yang mengerahui orientasinya karena kearabannya (bahasa), tafsir seseorang yang tidak berdalil karena ketidak tahuannya, tafsir yang hanya diketahui oleh ulama saja dan tafsir yang hanya diketahui oleh Allah Ta'ala saja”. Sementara dalil logikanya Ia lontarkan, ketika seseorang tidak boleh menafsirkan karena ketidaktahuannya, maka tidak mengapa jika seseorang menafsirkan karena “kesaktiannya”, yang sesuai dengan syara dan dialek bahasa (kafabel dalam bidangnya). [8]  
Keistimewaan tafsir Ibnu Katsir ini bisa kita abtrasikan ke dalam beberapa diktum di bawah ini :
1) Nilai kandungan tafsir tersebut tidak hanya tafsir bil-ma’tsur saja yang menghimpun riwayat serta khabar, Tapi beliau juga menghimpun referensi yang lain.
2) Menghimpun ayat-ayat yang serupa dengan menjelaskan rahasia yang dalam dengan keserasiannya, keselarasan lafadhnya, kesimetrisan uslubnya serta keagungan maknanya.
3) Menghimpun hadits dan khabar baik itu perkataan sahabat dan tabi’in. Dengan menjelaskan derajat hadits atau riwayat tersebut dari shahih dan dla’if, dengan mengemukakan sanad serta mata rantai rawi dan matannya atas dasar ilmu “jarh wa ta’dîl.” Pada kebiasaannya dia rajihkan aqwal yang shahih dan menda’ifkan riwayat yang lain.
4) Keterkaitan tafsir ini dengan pengarangnya yang mempunyai kafabilitas mumpuni dalam bidangnya. Ibnu Katsir ahli tafsir, tapi diakui juga sebagai muhaddits, sehingga dia sangat mengetahui sanad suatu hadits. Oleh karenanya, ia menyelaraskan suatu riwayat dengan naql yang shahih dan akal sehat. Serta menolak riwayat yang munkar dan riwayat yang dusta, yang tidak bisa dijadikan hujjah baik itu di dunuia ataupun di akhirat kelak.
5) Jika ada riwayat israiliyat Ia mendiskusikannya serta menjelaskan kepalsuannya, juga menyangkal kebohongannya dengan menggunakan konsep “jarh wa ta’dil.” Keenam, mengekspresikan manhaj “al-salâfu al-shaleh” dalam metode dan cara pandang, sebagaimana yang tertera dalam Qur`an dan Sunnah.
6) Keistimewaan yang lain yang merupakan ciri khas tafsir Ibnu Katsir adalah, daya kritisnya yang tiggi terhadap cerita-cerita Israiliyat yang banyak tersebar dalam kitab-kitab tafsir bil-Ma’tsur, baik secara global maupun secara mendetail.[9]

KELEMAHAN METODOLOGI TAFSIR IBNU KATSIR.
Ibnu Katsir, sebagaimana manusia biasa, tentunya tidak akan terlepas dari sifat lupa, maupun salah. Dari hasil penelitian, terdapat beberapa catatan yang mengungkapkan adanya kesamaran dalam karyanya. Sejauh ini, yang penulis ketahui, catatan tersebut adalah buah karya para peneliti ulama Azhar, yang melakukan research terhadap karya-karya klasik. Hasil tahqiq turats yang di gencarkan oleh pihak universitas, setidaknya hal ini telah memberikan kontribusi yang berharga dalam menjaga warisan klasik.

Memang catatan yang ditujukan kepada tafsir ini tidak mengurangi keilmiahan dan nilai tafsir ini Insyaallah-. Dalam hal ini, catatan tersebut di uraikan sebagai berikut;

1. Kesalahan dalam penyandaran. Contohnya, dalam tafsir surat Âli ‘Imrân:169. Ia menyebutkan riwayat Ahmad; tsana Abdul Samad, tsana Hamâd, tsana Tsabit, ‘an Anas marfû’an, “mâ min nafsin tamûtu laha…” al-hadits. Ibnu katsir berkata, “tafarrada bihi muslim min tharîq Hamâd“. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Muslim dari jalan Humed dan Qatadah dari Anas. Imam Muslim tidak mengeluarkan hadits ini dari Tsabit melalui jalur Anas. Sebenarnya yang meyendiri itu adalah riwayat Ahmad, “tafarrada bihi ahmad min tharîq Hamâd“.
2. Kesalahan dalam nama sahabat yang meriwayatkan hadits, atau penyandaran hadits kepada sahabat, padahal tidak terdapat hadits sahabat tersebut dalam bab ini. Seperti, tafsir surat Yusûf ayat 5. Dalam penafsiran surat ini, Ia mengungkapkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan sebagian Ahli Sunan dari Muawiyyah Ibnu Haydah al-Qusyayrî sesungguhnya dia berkata, Rasulullah bersabda, “al-Ru`ya ‘alâ rajuli thâ`ir mâ lam tu’bar…..“. Seperti inilah yang tertera dalam musnad Muawiyyah Ibnu Haydah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah serta yang lainnya meriwayatkan hadits dari Abi Rizin al-’Uqayli. Padahal hadits ini tidak diriwayatkan dari Muawiyyah, melainkan dari Abi Rizin al-’Uqayli.
3. Kesalahan dalam mata rantai sanad. Contoh, tafsir surat al-An’am:59 dari Ibnu Abi Hâtim dengan sanadnya kepada Malik Ibnu Sa’îr, Tsanâ al-A’mas, dari Yazid Ibnu Abi Ziyad dari Abdullah Ibnu Al-Harits dia berkata, “mâ fî al-ardli min syajaratin….“. Ibnu Katsir berkata, seperti inilah Ibnu Jarir meriwayatkan (11/13308), Ziyad ibn Yahya al-Hasani Abu al-Khathab. Sementara dalam tafsir Ibnu katsir di dapati bahwa yang meriwayatkan itu, Ziyad Ibnu Abdullah al-Hasani Abu al-Khatab. Ini jelas keliru, karena riwayat yang sebenarnya ialah Malik Ibnu Sa’ir melalui jalan Ziyad Ibnu Yahya al-Hasani Abu al-Khatab dari Ziyad.
4. Kurang menyentuh dalam menyandarkan riwayat. Contoh, sebagaimana yang Ia ungkapkan dalam menafsirkan surat Âli ‘Imrân:180. Ia mengemukakan hadits, “lâ ya`ti al-rajulu mawlâhu fayas`aluhu…“. Ibnu Katsir merasa cukup menyandarkan dalam periwayatannya kepada ibn Jarir dan Ibnu Mardaweh. Padahal, hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Nasâ`i dan yang lainnya, yang lebih utama untuk di sandarkan.
5. Lupa dalam menukil beberapa perkataan ulama. Contonya, tafsir surat al-A’raf:8. Ia menyebutkan hadits riwayat imam Tirmidzi. Imam Tirmidzi mengomentari hadits ini dengan ungkapan, “rawâhu tirmidzi wa shahhahahu“. Padahal yang sebenarnya ialah, “rawahu tirmidzi wa qâla, hadza al-hadîts hasan gharîb“.
  Itulah sekilas tentang bagaimana seorang Ibnu Katsir menafsirkan wahyu Allah serta dilengkapi dengan sekilas tentang biografi beliau. Dari itulah Ibnu Katsir juga menetapkan syarat dan adab yang mendukung otoritas metodologi penafsirannya.Kualitas dan dan tingkat karyanya ditentukan oleh kualitas pribadinya.Syarat dan adab inilah yang merupakan tradisi keulamaannya, khususnya di bidang tafsir dan Ulumul-Qur’an. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi kaum Muslimin yang ingin memperdalam lagi keilmuan tafsirnya.


[1] Abdur Rahman adz-Dzarqiy, Bidayatun Nihayah, Beirut Libanon, 1999, Cet.V, hal.7.
[3] Syaikh mohammad Sa’id an-Nursiy, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah,Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2007, Cet.I, hal.348.
[4] Ibid.348.
[5] Abdurrahman Ad-dzarqiy, Op.,Cit, 348.
[6] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Op.,Cit.478.
[7] Ibid 
[8] Ibid.
[9] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar