Cari Blog Ini

Minggu, 18 Maret 2012

Imam al-Baidhawi


Imam al-Baidhawi
1.      Biografi dan Historis Imam al-Baidhawi
Nama lengkapnya adalah Nashiruddin Abu Al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali al-Baidhawi Al-Syairazi. Beliau berasal dari sebuah desa bernama Baidho’ bagian dari Negara Persia (Iran). Dia adalah hakim di kota Syairaz dan sekaligus ahli tafsir al-Qur’an, menyusun banyak ilmu pengetahuan, dan dengan mudah meraih pangkat itu setelah kajadian yang membuktikan kepandaian dan kejeniusannya. Disanalah mula-mula ilmu beliau tumbuh dan berkembang. Dan di sana pula beliau mulai bersentuhan dengan ilmu fiqih dan Ushul fiqh, manthiq, filsafat, kalam dan adab, dan memasukkan ilmu-ilmu bahasa Arab dan Sastra kepada ilmu-ilmu Syara’ dan Hukum[1].
Selain itu, menurut Qadhi Syuhbah dalam karyanya, beliau memiliki banyak karangan, seorang ‘alim ulama di Azerbaijan, dan seorang guru besar di daerah itu. Beliau juga menjabat sebagai Qadhi (hakim) di Syairaz. Al-Baidhawi hidup dalam suasana politik yang tidak menentu. Sultan Abu Bakr yang memegang tampuk kekuasaan di Syiraz saat itu sangat lemah, tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membangun tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya supermasi keadilan yang lemah, namun para elit yang berkuasa pun hidup dalam budaya yang boros. Intervensi penguasa terhadap peradilan pun demikian kuatnya, sehingga banyak fuqaha yang mengkhawatirkan kemungkinan diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan syari’at Islam[2].
Mungkin, karena pertimbangan inilah -setelah mengikuti saran guru spiritualnya, Syaikh Muhammad Al-Khata’i yang memintanya keluar dari pemerintahan- yang menyebabkan al-Baidhawi mengundurkan diri dari jabatan hakim. Selepas mengundurkan diri dari jabatannya sebagai hakim, al-Baidhawi mengembara ke Tibriz hingga akhir hayatnya. Di kota inilah beliau berhasil menulis salah satu karya monumentalnya berupa tafsir yang berjudul Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil, yang menjadi perhatian tulisan ini. Mengenai tahun meninggalnya, tidak ada kesepakatan di antara ulama. Manurut Ibnu Katsir dan yang lainnya, beliau wafat pada tahun 685 M, sedangkan menurut Al-Subkiy dan Al-Nawawiy wafat pada tahun 691 M.
2.       Karya-karya Imam al-Baidhawi
Sebagai seorang ulama, sebagaimana telah disebutkan, beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas, bukan hanya dalam bidang tafsir melainkan juga dalam bidang ushul fiqh, fiqh, teologi, nahwu, manthiq, dan sejarah. Karya karya beliau pun meliputi bidang tersebut. Dari berpuluh-puluh karyanya bisa disebut antara lain Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil (tafsir), Syarah Masyabih (hadits), Tawali Al-Anwar, Al-Misbah fi Al-Ushul Al-Din, Al-Idah fi Al-Ushul Al-Din (teologi), Syarah Al-Mahsul, Syarah Al-Muntakhab, Mirsyad Al-Ifham ila Mabadi Al-Kalam, Syarah Minhaj Al-Wushul, Minhaj Al-Wushul ila Al-Ushul (ushul fiqh), Syarah Al-Tanbih, Al-Ghayah Al-Quswa fi Dirasat Al-Fatawa (fiqh), Syarah Kifayah fi Al-Nahw, Al-Lubb fi Al-Nahw (Nahwu), Kitab Al-Manthiq (manthiq), Al-Tahdzib wa Al-Akhlaq (tasawuf), dan Nizam Al-Tawarikh (sejarah). Dari kitab-kitab tersebut menurut Al-Dzahabiy, hanya tiga karya yang cukup dikenal para ulama, yaitu, Minhaj Al-Wushul ila Al-Ushul dan Syarh-nya (ushl fiqh), Tawali Al-Anwar (teologi), dan Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil (tafsir)[3]
3.       Sejarah Penulisan Tafsir al-Baidhawi
Kitab tafsir al-Baidhawi dinamainya sendiri dengan Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil. Hal ini tampak dalam dari pernyataan beliau sendiri sebagaimana terdapat dalam pengantar tafsirnya sebagaimana dikutip oleh Al-Dzahabi: “Setelah melakukan shalat istikharah, saya memutuskan untuk melakukan apa yang telah saya niatkan, yaitu mulai menulis dan menyelesaikan apa yang telah saya harapkan. Saya akan menamakan buku ini, setelah selesai penulisannya, dengan Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil”[4].
Al-Baidhawi menyebutkan dua alasan yang mendesaknya untuk menulis buku ini. Pertama, bagi al-Baidhawi, tafsir dianggap sebagai ilmu yang tertinggi di antara ilmu-ilmu agama yang lain. Kedua, melaksanakan apa yang telah diniatkan sejak lama yang berisi tentang fikiran-fikiran terbaik. Setelah merasa mampu melakukan cita-cita itu, mulailah ditulis kitab tafsir Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil tersebut. Dalam penulisan tafsirnya, beliau dibimbing oleh gurunya, Syaikh Muhammad Al-Khata’i, ulama yang menyarankan al-Baidhawi untuk mundur dari jabatannya sebagai hakim. Penulisan kitab tafsir inipun dikaukan secara ringkas, tanpa menguraikannya secara panjang lebar. Menurut Montgomeri Watt, hal ini dilakukan al-Baidhawi karena buku tersebut dimaksudkan sebagai buku pedoman untuk pengajaran di sekolah tinggi atau sekolah Mesjid sehingga memberikan secara ringkas semua yang paling baik dan paling masuk akal dari penjelasan-penjelasan yang dikemukakan para ulama dan mufassir sebelumnya[5].
Beberapa penilaian terhadap tafsir al-Baidhawi menyimpulkan bahwa sang pengarang memiliki ketergantungan pada kitab-kitab tafsir terdahulu, sehingga ada beberapa orang yang menganggap tafsir ini sebagai mukhtashar dari tafsir Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari, disarikan dalam hal i’rab, ma’ani dan bayan, Mafatih Al-Ghaibi karya Fakhruddin Al-Razi, disarikan dalam hal filsafat dan teologi, dan dari Al-Raghib Al-Asfahaniy disarikan dalam hal asal-usul kata. Terlepas dari penilaian di atas, dalam muqaddimah-nya, al-Baidhawi mengemukakan bahwa ada dua macam sumber yang digunakan sebagai rujukan dalam menulis tafsirnya. Pertama, komentar dari para sahabat, tabi’in, dan para ulama salaf yang termasuk dalam periode normatif. Kedua, komentar yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir sebelum al-Baidhawi. Mengenai periode yang pertama, sebagaimana dikutip Yusuf Rahman dari Winand Fell dalam karyanya Indices ad Beidhawi Commentarium in Coranum, nama Ibnu Abbas adalah yang paling dikutip oleh al-Baidhawi. Sementara dari Ibnu Mas’ud dikutip sebanyak 14 kali, Ubay bin Ka’ab 4 kali, Abdullah bin Zubair 4 kali, Abu Musa Al-Asy’ari 2 kali dan Zaid bin Tsabit 1 kali. Dari kalangan tabi’in, al-Baidhawi mengutip Mujahid 5 kali, Al-Dahhak 3 kali, Qatadah 3 kali, Ikrimah 3 kali, dan Abu Al-’Aliyah sebanyak 1 kali[6].
4.       Bentuk dan Corak Penafsiran al-Baidhawi
Tafsir karangan al-Baidhawi ini termasuk tafsir yang berukuran menengah. Isinya mencoba memadukan antara tafsir dan takwil sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa dan syara’, atau dengan kata lain, memadukan tafsir secara bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi sekaligus. Artinya bahwa al-Baidhawi tidak hanya memasukkan riwayat-riwayat dari Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, yang menjadi ciri khas dalam penafsiran bi al-ma’tsur, namun juga menggunakan ijtihad untuk memperjelas analisisnya atau memperkuat argumentasinya.
Dikatakan bahwa tafsir ini merupakan ringkasan (ikhtishar) dari tafsir Al-Kasysyaf dalam hal i’rab, ma’aniy, dan bayan, dan dari tafsir Al-Kabir atau yang dikenal dengan tafsir Mafatih al-Ghaibi dalam hal filsafat dan teologi, serta dari tafsir al-Raghib al-Asfahaniy dalam hal asal-usul kata. Dari tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari, al-Baidhawi dipengaruhi dalam hal pendekatan ketika menjelaskan lafadh, tarakib, dan nakl al-balaghah[7].
Dalam hal penetapan hukum, tafsirnya dipengaruhi oleh teologi ahlus-sunnah, yakni dipengaruhi oleh tafsir Mafatih al-Ghaibi karya Imam Fakhruddin ar-Raziy. Walaupun begitu tafsir ini merupakan ringkasan dari tafsir Al-Kasysyaf, namun beliau meninggalkan aspek-aspek kemuktazilahannya. Namun kadang dalam beberapa hal, beliau sependapat juga dengan pendapat penulis al-Kasysyaf. Seperti halnya ketika beliau menafsirkan surat Al-Baqarah: 275;

الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Kadang pula, beliau mengemukakan pandangan kaum muktazilah, namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan madzhab ahlus-sunnah. Seperti halnya ketika beliau menafsirkan surat Al-Baqarah:2-3:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ{2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ{3}

Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang yang percaya kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.
Setelah memberikan penjelasan secukupnya mengenai ayat tersebut, al-Baidhawi mencoba untuk mengemukakan makna ”iman” dan ”munafik” menurut pandangan madzhab ahlus-sunnah, mu’tazilah, dan khawarij. Namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan masdzhab Ahlus-sunnah.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Baidhawi sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara muthlak, misalnya fiqh, aqidah atau yang lainnya.
Karyanya ini justru mencakup berbagai corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat, fiqh, bahkan tasawuf. Tentunya ini didukung oleh basis awal keilmuan beliau dan juga aspek-aspek yang mempengaruhi beliau dalam penafsiran, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yang jelas, sebagai seorang Sunni, penafsiran al-Baidhawi memang cenderung kepada madzhab yang dianutnya tersebut. Dan secara otomatis, kitab tafsir ini lebih kental nuansa teologisnya.
Di samping itu, al-Baidhawi memberikan perhatian terhadap ayat-ayat alam semesta (ayat al-kauniyyah). Ketika menjumpai ayat-ayat semacam itu, beliau tidak sampai membiarkannya tanpa memberikan penjelasan yang panjang lebar untuk menerangkan hal-hal yang menyangkut alam semesta dan ilmu-ilmu kealaman. Hal inilah yang menguatkan perkiraan al-Dzahabi bahwa dalam hal seperti ini al-Baidhawi terpengaruh oleh penafsiran Fakhruddin ar-Raziy.
Sebagai contoh ketika beliau menafsirkan Qs. Al-Shaffat: 10;

فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ{10}
”Maka ia diburu oleh bola api yang menyala-nyala serta menyilaukan”
Dalam hal ini beliau memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan syihab (bola api) dalam ayat tersebut. Al-Baidhawi menyebutkan bahwa ”Dikatakan bahwa bola api itu adalah uap yang menguap kemudian menyala.
Dari segi sistematika penyusunan, kitab tafsir yang terdiri dari jilid ini, diawali dengan menyebutkan basmalah, tahmid, penjelasan tentnag kemukjizatan Al-Qur’an, signifikansi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru kemudian diuraikan penafsirannya terhadap Al-Qur’an. Di akhir kitab tafsirnya, al-Baidhawi berupaya untuk ”mempromosikan” keunggulan dan kehebatan tafsirnya yang dikemas dengan menggunakan bahasa yang singkat dan praktis dengan harapan agar dapat dikonsumsi secara mudah oleh para pemabaca. Bacaan tahmid dan shalawat menjadi penutup kitab tafsir ini. Tafsir ini memperlihatkan kepenguasaan dan kedalaman ilmu pengarangnya, tetapi juga bercorak ringkas. Beliau tidak mencantumkan satu kata pun jika tanpa adanya pertimbangan. Karena itu banyak ditulis catatan pinggir (hasyiyah) untuk menerangkan kepelikan-kepelikannya dan menguraikan rumusan-rumusannya. Diantara catatan-catatan pinggir tersebut adalah catatan pinggir Imam Syihab al-Khalaji, hasyiyah Zadah, dan hasyiyah Al-Nawawi. Banyaknya hasyiyah ini mengindikasikan sangat ringkasnya kitab tafsir al-Baidhawi ini[8].

5.       Metode Penafsiran al-Baidhawi
Kitab Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil sebagaimana kitab-kitab tafsir saat ini, menggunakan metodologi tahlili (analisis) yang berupaya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya secara berurutan sesuai dengan urutan mushaf usmani, dari ayat ke ayat, serta dari surat ke surat mulai surat Al-Fatihah hingga surat Al-Nas.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Baidhawi memanfaatkan berbagai sumber. Yaitu, ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, pendapat para sahabat dan tabi’in, dan pandangan ulama sebelumnya. Penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi.
Demikian pula beliau memfungsikan akal fikirannya lalu menyisipkannya secara mahir dan mengagumkan dan menyuimpulkan secara teliti dalam susunan kata yang ringkas dan ungkapan yang kadang sulit difahami dan samar kecuali oleh orang yang memiliki fikiran yang tajam dan akal yang cemerlang.
Dalam mengoperasikan penafsirannya, langkah pertama yang dilakukan al-Baidhawi adalah menjelaskan tempat turunnya surat makkiy atau madaniy dan jumlah ayat dari surat yang sedang ditafsirkan tersebut. Setelah itu, al-Baidhawi menjelaskan makna ayat satu persatu persatu baik dengan menggunakan analisis kebahasaan, menyitir hadits-hadits nabi maupun qira’ah.
Menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan menghubungkannya dengan ayat yang lain atau sering disebut dengan ”hubungan internal” merupakan bagian penting dalam tafsir al-Baidhawi. Metode ini dilakukan dengan cara menghubungkan kata dalam ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat lain dalam surat yang sama, atau mencari makna kandungan ayat yang sedang ditafsirkan dengan melihat pada ayat dan surat yang lain dari Al-Qur’an.
Penggunaan ”hubungan internal” (munasabah) ini tampak sangat sering dalam tafsir al-Baidhawi. Di akhir hampir setiap surat, al-Baidhawi menyertakan hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan surat yang baru saja ditafsirkan dan pahala bagi orang yang membaca surat itu sebagaimana yang dilakukan oleh Zamakhsyari dalam tafsirnya[9]. Namun, dalam penggunaan hadits tersebut beliau tidak menjelaskan derajat hadits itu apakah shahih, hasan, dha’if, atau maudhu’. Bahkan dalam hal ini, Al-Dzahabi menyatakan bahwa hadits itu maudhu’ menurut kesepakatan ulama hadits.
Walaupun begitu adanya, al-Baidhawi memberikan porsi yang sangat besar kepada hadits Nabi SAW dalam menafsirkan Al-Qur’an. Selain hadits-hadits yang lebih bersifat untuk menunjukkan keutamaan surat-surat yang ditafsirkan dan pahala bagi pembacanya sebagaimana disebutkan di atas, menurut Muhammad Yusuf, hadits-hadits tersebut dikategorikan juga sebagai penjelas ayat yang sedang ditafsirkan dan sebagai asbab al-nuzul dari suatu ayat atau surat.
Kisah-kisah Israiliyat yang menjadi bagian penting dalam kitab-kitab sebelumnya, dalam tafsir al-Baidhawi diminimalisir. Kalaupun mengutip kisah-kisah tersebut, al-Baidhawi menyebutkannya dengan menggunakan istilah ruwiya (diriwayatkan) atau qila (dikatakan). Menurut Al-Dzahabi, penggunaan kedua istilah itu menunjukkan bahwa al-Baidhawi mengisyaratkan akan kelemahan kualitas kisah-kisah Israiliyat tersebut yang tidak bisa diterima oleh akal dan logika. Contohnya adalah ketika beliau menafsirkan surat Al-Naml: 22;

فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَالَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ {22}
 Tidak lama kemudian datanglah Hud-Hud seraya berkata: Aku telah menemukan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Aku datang dari negeri Saba’ dengan membawa berita yang meyakinkan”. Dalam hal ini, setelah menafsirkan secar ringkas ayat tersebut dan mengemukakan macam-macam bacaan dari lafadh makaksa, saba’ serta bacaan tajwid pada beberapa kata, al-Baidhawi mengemukakan, ”Diriwayatkan bahwa Nabi Sulaiman As setelah menyelesaiakan bangunan Bait Al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibadah haji”. Setelah mengutip sebuah kisah israiliyat tentang pengembaraan Nabi Sulaiman dari Makkah ke Sana’a tanpa menyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga tidak menafikannya beliau berkata: ”Barangkali di antara keajaiban kekuasaan Allah yang dikhususkan bagi hamba_hamba-Nya terdapat perkara-perkara yang lebih besar darinya, yang menyebabkan orang-orang yang mengetahui kekuasaan-Nya akan mengagungkan-Nya, dan sebaliknya, orang-orang yang mengingkarinya akan menolaknya”. Sebagaimana telah disebutkan bahwa penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi. Dengan demikian pendekatan bahasa menjadi ”menu utama” dalam setiap penafsirannya.


[1] Nashruddin Al-Baidhawi, Tafsir Al-Baidhawi. Juz V, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1
[2] Abu Syuhbah, Muhammad ibn Muhammad, al-Isrā´īliyyāt wa al-Mawdhū’āt fī Kutub al-Tafsīr, (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1408 H), cet. IV.
[3] Mahmud, Mani’ Abd Halim, Metodologi Tafsir: kajian konprehensif metode para ahli tafsir. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006.
[4] Muhammad Husayn Al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jilid 4, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
[5] Nashruddin Al-Baidhawi, Tafsir Al-Baidhawi. Juz V, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
[6] Muhammad Husayn Al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jilid 4, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
[7] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir. Bandung: Penerbit Pustaka, 1987.
[8] Muhammad Yusuf Dkk, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks Yang Bisu. Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2004.
[9] Mahmud, Mani’ Abd Halim, Metodologi Tafsir: kajian konprehensif metode para ahli tafsir. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar