Imam al-Baidhawi
1.
Biografi dan Historis Imam
al-Baidhawi
Nama lengkapnya adalah Nashiruddin
Abu Al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali al-Baidhawi Al-Syairazi.
Beliau berasal dari sebuah desa bernama Baidho’ bagian dari Negara
Persia (Iran). Dia adalah hakim di kota Syairaz dan sekaligus ahli tafsir
al-Qur’an, menyusun banyak ilmu pengetahuan, dan dengan mudah meraih pangkat
itu setelah kajadian yang membuktikan kepandaian dan kejeniusannya. Disanalah
mula-mula ilmu beliau tumbuh dan berkembang. Dan di sana pula beliau mulai
bersentuhan dengan ilmu fiqih dan Ushul fiqh, manthiq, filsafat, kalam dan
adab, dan memasukkan ilmu-ilmu bahasa Arab dan Sastra kepada ilmu-ilmu Syara’
dan Hukum[1].
Selain itu, menurut Qadhi Syuhbah
dalam karyanya, beliau memiliki banyak karangan, seorang ‘alim ulama di
Azerbaijan, dan seorang guru besar di daerah itu. Beliau juga menjabat sebagai
Qadhi (hakim) di Syairaz. Al-Baidhawi hidup dalam suasana politik yang tidak
menentu. Sultan Abu Bakr yang memegang tampuk kekuasaan di Syiraz saat itu
sangat lemah, tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membangun tatanan
masyarakat yang baik. Bukan hanya supermasi keadilan yang lemah, namun para
elit yang berkuasa pun hidup dalam budaya yang boros. Intervensi penguasa
terhadap peradilan pun demikian kuatnya, sehingga banyak fuqaha yang
mengkhawatirkan kemungkinan diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang
bertentangan dengan syari’at Islam[2].
Mungkin, karena pertimbangan inilah
-setelah mengikuti saran guru spiritualnya, Syaikh Muhammad Al-Khata’i yang
memintanya keluar dari pemerintahan- yang menyebabkan al-Baidhawi mengundurkan
diri dari jabatan hakim. Selepas mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
hakim, al-Baidhawi mengembara ke Tibriz hingga akhir hayatnya. Di kota inilah
beliau berhasil menulis salah satu karya monumentalnya berupa tafsir yang
berjudul Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil, yang menjadi perhatian tulisan
ini. Mengenai tahun meninggalnya, tidak ada kesepakatan di antara ulama.
Manurut Ibnu Katsir dan yang lainnya, beliau wafat pada tahun 685 M, sedangkan
menurut Al-Subkiy dan Al-Nawawiy wafat pada tahun 691 M.
2.
Karya-karya Imam al-Baidhawi
Sebagai seorang ulama, sebagaimana telah disebutkan,
beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas, bukan hanya dalam bidang tafsir
melainkan juga dalam bidang ushul fiqh, fiqh, teologi, nahwu, manthiq, dan
sejarah. Karya karya beliau pun meliputi bidang tersebut. Dari berpuluh-puluh
karyanya bisa disebut antara lain Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil (tafsir),
Syarah Masyabih (hadits), Tawali Al-Anwar, Al-Misbah fi Al-Ushul Al-Din,
Al-Idah fi Al-Ushul Al-Din (teologi), Syarah Al-Mahsul, Syarah Al-Muntakhab,
Mirsyad Al-Ifham ila Mabadi Al-Kalam, Syarah Minhaj Al-Wushul, Minhaj Al-Wushul
ila Al-Ushul (ushul fiqh), Syarah Al-Tanbih, Al-Ghayah Al-Quswa fi Dirasat
Al-Fatawa (fiqh), Syarah Kifayah fi Al-Nahw, Al-Lubb fi Al-Nahw (Nahwu), Kitab
Al-Manthiq (manthiq), Al-Tahdzib wa Al-Akhlaq (tasawuf), dan Nizam Al-Tawarikh
(sejarah). Dari kitab-kitab tersebut menurut Al-Dzahabiy, hanya tiga karya yang
cukup dikenal para ulama, yaitu, Minhaj Al-Wushul ila Al-Ushul dan Syarh-nya
(ushl fiqh), Tawali Al-Anwar (teologi), dan Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil
(tafsir)[3]
3.
Sejarah Penulisan Tafsir al-Baidhawi
Kitab tafsir al-Baidhawi dinamainya
sendiri dengan Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil. Hal ini tampak dalam dari
pernyataan beliau sendiri sebagaimana terdapat dalam pengantar tafsirnya
sebagaimana dikutip oleh Al-Dzahabi: “Setelah melakukan shalat istikharah, saya
memutuskan untuk melakukan apa yang telah saya niatkan, yaitu mulai menulis dan
menyelesaikan apa yang telah saya harapkan. Saya akan menamakan buku ini,
setelah selesai penulisannya, dengan Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil”[4].
Al-Baidhawi menyebutkan dua alasan
yang mendesaknya untuk menulis buku ini. Pertama, bagi al-Baidhawi, tafsir
dianggap sebagai ilmu yang tertinggi di antara ilmu-ilmu agama yang lain.
Kedua, melaksanakan apa yang telah diniatkan sejak lama yang berisi tentang
fikiran-fikiran terbaik. Setelah merasa mampu melakukan cita-cita itu, mulailah
ditulis kitab tafsir Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil tersebut. Dalam
penulisan tafsirnya, beliau dibimbing oleh gurunya, Syaikh Muhammad Al-Khata’i,
ulama yang menyarankan al-Baidhawi untuk mundur dari jabatannya sebagai hakim.
Penulisan kitab tafsir inipun dikaukan secara ringkas, tanpa menguraikannya
secara panjang lebar. Menurut Montgomeri Watt, hal ini dilakukan al-Baidhawi
karena buku tersebut dimaksudkan sebagai buku pedoman untuk pengajaran di
sekolah tinggi atau sekolah Mesjid sehingga memberikan secara ringkas semua
yang paling baik dan paling masuk akal dari penjelasan-penjelasan yang
dikemukakan para ulama dan mufassir sebelumnya[5].
Beberapa penilaian terhadap tafsir
al-Baidhawi menyimpulkan bahwa sang pengarang memiliki ketergantungan pada
kitab-kitab tafsir terdahulu, sehingga ada beberapa orang yang menganggap
tafsir ini sebagai mukhtashar dari tafsir Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari,
disarikan dalam hal i’rab, ma’ani dan bayan, Mafatih Al-Ghaibi karya Fakhruddin
Al-Razi, disarikan dalam hal filsafat dan teologi, dan dari Al-Raghib
Al-Asfahaniy disarikan dalam hal asal-usul kata. Terlepas dari penilaian di
atas, dalam muqaddimah-nya, al-Baidhawi mengemukakan bahwa ada dua macam sumber
yang digunakan sebagai rujukan dalam menulis tafsirnya. Pertama, komentar dari
para sahabat, tabi’in, dan para ulama salaf yang termasuk dalam periode
normatif. Kedua, komentar yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir sebelum
al-Baidhawi. Mengenai periode yang pertama, sebagaimana dikutip Yusuf Rahman
dari Winand Fell dalam karyanya Indices ad Beidhawi Commentarium in Coranum,
nama Ibnu Abbas adalah yang paling dikutip oleh al-Baidhawi. Sementara dari
Ibnu Mas’ud dikutip sebanyak 14 kali, Ubay bin Ka’ab 4 kali, Abdullah bin
Zubair 4 kali, Abu Musa Al-Asy’ari 2 kali dan Zaid bin Tsabit 1 kali. Dari
kalangan tabi’in, al-Baidhawi mengutip Mujahid 5 kali, Al-Dahhak 3 kali,
Qatadah 3 kali, Ikrimah 3 kali, dan Abu Al-’Aliyah sebanyak 1 kali[6].
4.
Bentuk dan Corak Penafsiran al-Baidhawi
Tafsir karangan al-Baidhawi ini
termasuk tafsir yang berukuran menengah. Isinya mencoba memadukan antara tafsir
dan takwil sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa dan syara’, atau dengan kata
lain, memadukan tafsir secara bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi sekaligus. Artinya
bahwa al-Baidhawi tidak hanya memasukkan riwayat-riwayat dari Nabi dan para
sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, yang menjadi ciri khas dalam penafsiran bi
al-ma’tsur, namun juga menggunakan ijtihad untuk memperjelas analisisnya atau
memperkuat argumentasinya.
Dikatakan bahwa tafsir ini merupakan
ringkasan (ikhtishar) dari tafsir Al-Kasysyaf dalam hal i’rab, ma’aniy, dan
bayan, dan dari tafsir Al-Kabir atau yang dikenal dengan tafsir Mafatih
al-Ghaibi dalam hal filsafat dan teologi, serta dari tafsir al-Raghib
al-Asfahaniy dalam hal asal-usul kata. Dari tafsir al-Kasysyaf karya
al-Zamakhsyari, al-Baidhawi dipengaruhi dalam hal pendekatan ketika menjelaskan
lafadh, tarakib, dan nakl al-balaghah[7].
Dalam hal penetapan hukum, tafsirnya
dipengaruhi oleh teologi ahlus-sunnah, yakni dipengaruhi oleh tafsir Mafatih
al-Ghaibi karya Imam Fakhruddin ar-Raziy. Walaupun begitu tafsir ini merupakan
ringkasan dari tafsir Al-Kasysyaf, namun beliau meninggalkan aspek-aspek
kemuktazilahannya. Namun kadang dalam beberapa hal, beliau sependapat juga
dengan pendapat penulis al-Kasysyaf. Seperti halnya ketika beliau menafsirkan
surat Al-Baqarah: 275;
الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Kadang pula, beliau mengemukakan pandangan kaum
muktazilah, namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan madzhab
ahlus-sunnah. Seperti halnya ketika beliau menafsirkan surat Al-Baqarah:2-3:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ{2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ{3}
Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu
orang yang percaya kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan
sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.
Setelah memberikan penjelasan
secukupnya mengenai ayat tersebut, al-Baidhawi mencoba untuk mengemukakan makna
”iman” dan ”munafik” menurut pandangan madzhab ahlus-sunnah, mu’tazilah, dan
khawarij. Namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan masdzhab Ahlus-sunnah.
Dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an, al-Baidhawi sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus untuk menggunakan
satu corak yang spesifik secara muthlak, misalnya fiqh, aqidah atau yang
lainnya.
Karyanya ini justru mencakup
berbagai corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat, fiqh, bahkan tasawuf.
Tentunya ini didukung oleh basis awal keilmuan beliau dan juga aspek-aspek yang
mempengaruhi beliau dalam penafsiran, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Yang jelas, sebagai seorang Sunni, penafsiran al-Baidhawi memang cenderung
kepada madzhab yang dianutnya tersebut. Dan secara otomatis, kitab tafsir ini lebih
kental nuansa teologisnya.
Di samping itu, al-Baidhawi
memberikan perhatian terhadap ayat-ayat alam semesta (ayat al-kauniyyah).
Ketika menjumpai ayat-ayat semacam itu, beliau tidak sampai membiarkannya tanpa
memberikan penjelasan yang panjang lebar untuk menerangkan hal-hal yang
menyangkut alam semesta dan ilmu-ilmu kealaman. Hal inilah yang menguatkan
perkiraan al-Dzahabi bahwa dalam hal seperti ini al-Baidhawi terpengaruh oleh
penafsiran Fakhruddin ar-Raziy.
Sebagai contoh ketika beliau
menafsirkan Qs. Al-Shaffat: 10;
فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ{10}
”Maka ia diburu oleh bola api yang
menyala-nyala serta menyilaukan”
Dalam hal ini beliau memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan syihab (bola api) dalam ayat tersebut. Al-Baidhawi menyebutkan bahwa ”Dikatakan bahwa bola api itu adalah uap yang menguap kemudian menyala.
Dalam hal ini beliau memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan syihab (bola api) dalam ayat tersebut. Al-Baidhawi menyebutkan bahwa ”Dikatakan bahwa bola api itu adalah uap yang menguap kemudian menyala.
Dari segi sistematika penyusunan,
kitab tafsir yang terdiri dari jilid ini, diawali dengan menyebutkan basmalah,
tahmid, penjelasan tentnag kemukjizatan Al-Qur’an, signifikansi ilmu tafsir,
latar belakang penulisan kitab, baru kemudian diuraikan penafsirannya terhadap
Al-Qur’an. Di akhir kitab tafsirnya, al-Baidhawi berupaya untuk ”mempromosikan”
keunggulan dan kehebatan tafsirnya yang dikemas dengan menggunakan bahasa yang
singkat dan praktis dengan harapan agar dapat dikonsumsi secara mudah oleh para
pemabaca. Bacaan tahmid dan shalawat menjadi penutup kitab tafsir ini. Tafsir
ini memperlihatkan kepenguasaan dan kedalaman ilmu pengarangnya, tetapi juga
bercorak ringkas. Beliau tidak mencantumkan satu kata pun jika tanpa adanya
pertimbangan. Karena itu banyak ditulis catatan pinggir (hasyiyah) untuk
menerangkan kepelikan-kepelikannya dan menguraikan rumusan-rumusannya. Diantara
catatan-catatan pinggir tersebut adalah catatan pinggir Imam Syihab al-Khalaji,
hasyiyah Zadah, dan hasyiyah Al-Nawawi. Banyaknya hasyiyah ini mengindikasikan
sangat ringkasnya kitab tafsir al-Baidhawi ini[8].
5.
Metode Penafsiran al-Baidhawi
Kitab Anwar Al-Tanzil wa Asrar
Al-Ta’wil sebagaimana kitab-kitab tafsir saat ini, menggunakan metodologi
tahlili (analisis) yang berupaya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai
seginya secara berurutan sesuai dengan urutan mushaf usmani, dari ayat ke ayat,
serta dari surat ke surat mulai surat Al-Fatihah hingga surat Al-Nas.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an,
al-Baidhawi memanfaatkan berbagai sumber. Yaitu, ayat Al-Qur’an, hadits Nabi,
pendapat para sahabat dan tabi’in, dan pandangan ulama sebelumnya. Penggunaan
tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat
analisis dan penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi.
Demikian pula beliau memfungsikan
akal fikirannya lalu menyisipkannya secara mahir dan mengagumkan dan
menyuimpulkan secara teliti dalam susunan kata yang ringkas dan ungkapan yang
kadang sulit difahami dan samar kecuali oleh orang yang memiliki fikiran yang
tajam dan akal yang cemerlang.
Dalam mengoperasikan penafsirannya,
langkah pertama yang dilakukan al-Baidhawi adalah menjelaskan tempat turunnya
surat makkiy atau madaniy dan jumlah ayat dari surat yang sedang ditafsirkan
tersebut. Setelah itu, al-Baidhawi menjelaskan makna ayat satu persatu persatu
baik dengan menggunakan analisis kebahasaan, menyitir hadits-hadits nabi maupun
qira’ah.
Menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan
menghubungkannya dengan ayat yang lain atau sering disebut dengan ”hubungan
internal” merupakan bagian penting dalam tafsir al-Baidhawi. Metode ini
dilakukan dengan cara menghubungkan kata dalam ayat yang sedang ditafsirkan
dengan ayat lain dalam surat yang sama, atau mencari makna kandungan ayat yang
sedang ditafsirkan dengan melihat pada ayat dan surat yang lain dari Al-Qur’an.
Penggunaan ”hubungan internal”
(munasabah) ini tampak sangat sering dalam tafsir al-Baidhawi. Di akhir hampir
setiap surat, al-Baidhawi menyertakan hadits-hadits yang menjelaskan tentang
keutamaan surat yang baru saja ditafsirkan dan pahala bagi orang yang membaca
surat itu sebagaimana yang dilakukan oleh Zamakhsyari dalam tafsirnya[9].
Namun, dalam penggunaan hadits tersebut beliau tidak menjelaskan derajat hadits
itu apakah shahih, hasan, dha’if, atau maudhu’. Bahkan dalam hal ini,
Al-Dzahabi menyatakan bahwa hadits itu maudhu’ menurut kesepakatan ulama
hadits.
Walaupun begitu adanya, al-Baidhawi
memberikan porsi yang sangat besar kepada hadits Nabi SAW dalam menafsirkan
Al-Qur’an. Selain hadits-hadits yang lebih bersifat untuk menunjukkan keutamaan
surat-surat yang ditafsirkan dan pahala bagi pembacanya sebagaimana disebutkan
di atas, menurut Muhammad Yusuf, hadits-hadits tersebut dikategorikan juga
sebagai penjelas ayat yang sedang ditafsirkan dan sebagai asbab al-nuzul dari
suatu ayat atau surat.
Kisah-kisah Israiliyat yang menjadi
bagian penting dalam kitab-kitab sebelumnya, dalam tafsir al-Baidhawi
diminimalisir. Kalaupun mengutip kisah-kisah tersebut, al-Baidhawi
menyebutkannya dengan menggunakan istilah ruwiya (diriwayatkan) atau qila
(dikatakan). Menurut Al-Dzahabi, penggunaan kedua istilah itu menunjukkan bahwa
al-Baidhawi mengisyaratkan akan kelemahan kualitas kisah-kisah Israiliyat
tersebut yang tidak bisa diterima oleh akal dan logika. Contohnya adalah ketika
beliau menafsirkan surat Al-Naml: 22;
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَالَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ {22}
[1] Nashruddin Al-Baidhawi, Tafsir Al-Baidhawi. Juz V, dalam
program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1
[2] Abu Syuhbah, Muhammad ibn Muhammad, al-Isrā´īliyyāt wa
al-Mawdhū’āt fī Kutub al-Tafsīr, (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1408 H), cet.
IV.
[3] Mahmud, Mani’ Abd Halim, Metodologi Tafsir: kajian
konprehensif metode para ahli tafsir. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2006.
[4] Muhammad Husayn Al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn,
Jilid 4, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
[5] Nashruddin Al-Baidhawi, Tafsir Al-Baidhawi. Juz V, dalam
program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
[6] Muhammad Husayn Al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn,
Jilid 4, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
[7] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an: Perkenalan
dengan Metodologi Tafsir. Bandung: Penerbit Pustaka, 1987.
[8] Muhammad Yusuf Dkk, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks Yang
Bisu. Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2004.
[9] Mahmud, Mani’ Abd Halim, Metodologi Tafsir: kajian
konprehensif metode para ahli tafsir. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar