Perbedaan
tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi berikut contoh keduanya , baik kitab
atau tafsirnya.
Ilmu tafsir Al Qur’an
terus menerus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan
ini merupakan suatu keharusan agar Al Qur’an dapat bermakna bagi umat Islam di
segala waktu dan segala tempat. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsilah
metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode
dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Al Qur’an maka
dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al Qur’an.
Melihat sejarah awal perkembangan
tafsir, muncul dua jenis penafsiran al-Qur’an secara estafet, yaitu tafsir bi
al-ma’tsur atau disebut juga dengan tafsir bi al-riwayah dan tafsir bi al-ra’yi
atau tafsir bi al-dirayah. Untuk meminimalisir perdebatan tentang bentuk kedua
jenis tafsir ini, penulis lebih memahami keduanya tidak sebagai sebagai
sebuah metode ataupun corak tafsir melainkan jenis-jenis penafsiran yang muncul
dalam sejarah awal usaha pemahaman terhadap al-Qur’an.[1]
Tulisan ini akan memberikan penjelasan singkat tentang tafsir bi al-ma’tsur dan
tafsir bi al-ra’yi.
Tafsir bir-Ra’yi
Kata al-Ra’y berarti
pemikiran, pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut definisinya, Tafsir bir-ra’yi
adalah penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir.[2]
setelah terlebih dahulu memahami bahasa dan adat istiadat bangsa Arab.
Berijtihad tanpa memperhatikan penjelasan Nabi sebagai mubayyin maupun
penjelasan shahabat-shahabatnya. Sekilas hal ini jelas akan berimplikasi
negatif pada penyimpulan istinbat terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
ditafsirkan karena terkesan sembrono sehingga sebagian ulama menolak tafsir
ini bahkan diantaranya ada yang mengharamkan.
Tafsir bir-ra’yi muncul sebagai
sebuah jenis tafsir pada periode akhir pertumbuhan tafsir bil-ma’tsur sebagai
periode awal perkembangan tafsir. Pada masa ini Islam semakin maju dan
berkembang, maka berkembanglah berbagai madzhab dan aliran dikalangan umat
Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka
mengembangkan paham mereka. Untuk maksud tersebut mereka mencari
ayat-ayatal-Qur’an dan Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai keyakinan yang
mereka anut.[3]
Meskipun telah terdapat upaya
sebagian Muslim yang menunjukkan bahwa mereka telah melakukan penafsiran dengan
ijtihad, khususnya pada zaman shahabat dan tabi’in sebagai tonggak munculnya
ijtihad namun tidak menutup kemungkinan bahwa sejak zaman Nabi, benih-benih
tafsir bir-ra’yi telah tumbuh dikalangan ummat Islam.
Dalam beberapa literatur disebutkan
bahwa sebenarnya tafsir bir-ra’yi tidak semata-mata didasari penalaran akal,
dengan mengabaikan sumber-sumber riwayat secara mutlak.[4]
akan tetapi lebih selektif terhadap riwayat tersebut. Dalam sumber lain Tafsir
bir-ra’yi bukan berarti menafsirkan ayat dengan menggunakan akal
seluas-luasnya, tetapi tafsir yang didasarkan pada pendapat yang mengikuti
kaidah-kaidah bahasa Arab yang bersandar pada sastra jahiliah berupa syair,
prosa, tradisi bangsa Arab, dan ekspresi percakapan mereka serta pada berbagai
peristiwa yang terjadi pada masa Rasul menyangkut perjuangan, perlawanan,
pertikaian, hijrah, dan peperangan yang beliau lakukan selain itu juga
menyangkut berbagai fitnah yang pernah terjadi dan hal-hal yang terjadi saat
itu, yang mengharuskan adanya hukum-hukum dan diturunkannya ayat-ayat al-Quran.
Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi adalah tafsir dengan cara memahami berbagai
kalimat al-Quran melalui pemahaman yang ditunjukkan oleh berbagai informasi
yang dimiliki seorang ahli tafsir seperti bahasa dan berbagai peristiwa.
Sebagian ulama menerima tafsir ini
dengan beberapa syarat yang cukup ketat diantaranya : (a) menguasai bahasa Arab
dan cabang-cabangnya (b) menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an (c) berakidah yang benar
(d) mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam dan menguasai ilmu yang
berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan.[5]
Dengan syarat-syarat tersebut diharapkan tidak ada penyimpangan dalam
menafsirkan al-Qur’an.
Sedikit mendialogkan pro-kontra seputar penerimaan tafsir
bir-ra’yi dikalangan ulama, bahwa kedua pendapat yang bertentangan itu mungkin
hanya merupakan kesalah pahaman dalam istilah ra’y. Jelas semua ulama
sepakat menolak semua jenis penafsiran yang hanya menggunakan ra’y [pemikiran]
saja tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah yang berlaku akan tetapi mereka
menerima ijtihad yang didasari oleh al-Qur’an, Sunnah Nabi serta kaidah-kaidah
yang berlaku. Dengan demikian dapat dipahami bahwa hadirnya tafsir bir-ra’yi
justru merupakan perkembangan signifikan dalam khazanah tafsir al-Qur’an. Namun
tidak mengesampingkan kelemahan yang sedikit telah disinggung diatas bahwa pada
masa ini rentan terhadap penyusupan kepentingan dan politik.
Contoh Tafsir bir ra’yi dalam Tafsir Jalalain:
t,n=y{
z`»|¡SM}$#
ô`ÏB
@,n=tã
ÇËÈ
Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah.(QS Al Alaq 2)
Kata ‘alaq disini diberi makna dengan bentuk
jamak dari lafaz ‘alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.
Karya-karya Kitab Tafsir bir-ra’yi :
1. Tafsir Abdurrahman bin Kaisan
al-Asam
2. Tafsir Abu ‘Ali al-Juba’i
3. Tafsir Abdul Jabbar
4. Tafsir az-Zamakhsyari, al-Kasyaf ‘an
Haqa’iqi Gawamidit Tanzil wa “uyanil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil
5. Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul
Ghaib
6. Tafsir an-Nasafi, Madarikut Tanzil
wa Haqaiqut Ta’wil
7. Tafsir al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi
Ma’ani Tanzil
8. Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit
9. Tafsir al-Baidlawi, Anwarut Tanzil
wa Asrarut Ta’wil
10.
Tafsir al-Jalalain, jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin
as-Suyuthi
Tafsir bil-Ma’tsur
Tafsir bil-ma’tsur adalah penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an yang didasarkan dan mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang lain, Sunnah
yang tertuang dalam hadits-hadits Nabi, pendapat Shahabat dan Tabi’in.[6]
Namun terdapat perbedaan dalam pengkategorian pendapat tabi’in sebagai tafsir bil-ma’tsur
karena ada indikasi bahwa pendapat tabi’in banyak telah terkooptasi oleh akal[7]
berbeda dengan pendapat shahabat yang dimungkinkan untuk mengetahui penafsiran
suatu ayat berdasarkan petunjuk Nabi. Selain itu shahabat juga menyertai Nabi
pada saat turunnya sebagian ayat sehingga mereka lebih mengetahui asbab
an-Nuzul sebuah ayat.
Tafsir ini merupakan salah satu
jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khazanah intelaktual
Islam. Sedikit sekali terjadi perbedaan pendapat dalam produk-produk
penafsirannya. Sebagian besar perbedaan yang ditemukan adalah pada aspek
pemahaman redaksional terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Ini disebabkan relativitas
kualitas intelektual shahabat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an tersebut.[8]
sehingga wajar ditemukan perbedaan. Sebagai sebuah contoh dalam Mabahits fi
Ulum al-Qur’an, seorang mufassir pada masa itu mengungkapkan maksud sebuah
kata dengan redaksi yang berbeda dengan redaksi mufassir yang lain dan
masing-masing redaksi itu menunjuk makna yang juga berbeda namun maksud
semuanya adalah sama. Seperti penafsiran terhadap kata shirat al-mustaqim,
sebagian menafsirkannya sebagai al-Qur’an dan sebagian yang lain menafsirkannya
dengan Islam. Kedua tafsiran ini berbeda namun senada karena Islam didasari
oleh al-Qur’an hanya saja masing-masing penafsiran itu menggunakan sifat yang
tidak digunakan oleh yang lain.
Secara garis besar, penafsiran pada
masa ini kukuh beracuan pada aspek riwayat-riwayat yang menjelaskan ayat-ayat
al-Qur’an karena dianggap sebagai jalan pengetahuan yang benar dan paling aman
untuk tetap terjaga dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami
al-Qur’an. Namun bukan berarti tidak terjadi ijtihad karena hal ini dapat
dilihat dari sumber-sumber kajian tafsir yang digunakan selain al-Qur’an dan
Sunnah juga menggunakan Ijtihad shahabat dalam beberapa hal yang mutlak
memerlukan ijtihad. Dalam bahasa Quraish Shihab disebut sebagai keterpaksaan
melakukan ijtihad karena Nabi telah wafat. Bahkan ditemukan juga riwayat Ahl
Kitab Yahudi dan Nashrani[9]
yang telah masuk Islam[10]
dan hal inilah yang ditengarai sebagai awal kemunculan Isra’iliyyat.
Kelemahan Tafsir bil-ma’tsur
1. Banyak ditemukan riwayat-riwayat
yang disisipkan oleh orang-orang yahudi dan persi dengan tujuan merusak islam
melalui informasi yang tidak dipertanggungjawabkan kebenarannya.
2. Banyak ditemukan usaha-usaha
penyusupan kepentingan yang dilakukan oleh aliran-aliran yang dianggap
menyimpang seperti kaum Syi’ah.
3. Tercampur aduknya riwayat-riwayat
yang shahih dengan riwayat-riwayat hadits yang sanadnya lemah
4.
Banyak ditemukan riwayat Isra’iliyyat yang mengandung
dongeng-dongeng yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.[11]
Contoh tafsir Al
Qur’an dengan Al Qur’an antara lain:
4 (#qè=ä.ur
(#qç/uõ°$#ur
4Ó®Lym
tû¨üt7oKt
ãNä3s9
äÝøsø:$#
âÙuö/F{$#
z`ÏB
ÅÝøsø:$#
ÏuqóF{$#
z`ÏB
Ìôfxÿø9$#
(
dan Makan minumlah
hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. (QS 2, Al Baqarah:187)
Perkataan minal fajri adalah tafsir bagi apa
yang dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi.
Contoh Tafsir Al
Qur’an dengan Sunnah antara lain:
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
óOs9ur
(#þqÝ¡Î6ù=t
OßguZ»yJÎ)
AOù=ÝàÎ/
y7Í´¯»s9'ré&
ãNßgs9
ß`øBF{$#
Nèdur
tbrßtGôgB
ÇÑËÈ
orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang
mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS Al An’am 82)
Rasulullah
s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada ayat :
øÎ)ur
tA$s%
ß`»yJø)ä9
¾ÏmÏZö/ew
uqèdur
¼çmÝàÏèt
¢Óo_ç6»t
w
õ8Îô³è@
«!$$Î/
(
cÎ)
x8÷Åe³9$#
íOù=Ýàs9
ÒOÏàtã
. dan (ingatlah)
ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".(QS Luqman 13)
Dengan itu
Beliau menafsirkan makna zhalim dengan syirik.
Karya-karya Kitab Tafsir bil-ma’tsur
:
1.
Tafsir Ibn Abbas
2.
Tafsir Ibn ‘Uyainah
3.
Tafsir Ibn Abi Hatim
4.
Tafsir Abu Syaikh bin Hibban
5.
Tafsir Ibn ‘Atiyyah
6.
Tafsir Abu Laits as-Samarqandi
7.
Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an
8.
Tafsir Ibn Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayan fi Tafsir
al-Qur’an
9.
Tafsir Ibn Abi Syaibah
10.
Tafsir al-Baghawi, Ma’alimu at-Tanzil
11.
Tafsir Abil Fida’ al-Hafidz Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an
al-’Adzim
12.
Tafsir as-Sa’labi, al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an
13.
Tafsir Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Duru al-Mansur fi Tafsiri
bi al Ma’tsur
14.
Tafsir as-Syaukani, Fath al-Qadir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar