pengertian
jadal dan qasam berikut contohnya serta
hikmah keduanya dalam perspektif komunikasi dakwah!
A. Jadal
1) Pengertian
Jadal
Jadal
atau jidal yaitu bertukar pikiran untuk
mengaklahkan lawan. Masing-masing orang yang bermaksut berdebat itu bermaksut
merubah pendirian lawan yang semula dipeganginya.[1]
2) Macam-Macam
Perdebatan Dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur’an banyak mengungkapkan
ayat-ayat kauniyah yang disertai perintah malakukan perenungan dan pemikiran
untuk dijadikan dalil bagi penetepan dasar-dasar akidah.
Membentah pendapat para penentang dan
lawan, serta mematahkan argumentasi meraka.
3) Kegunaan
Jadal Dalam al-Qur’an
Allah
menyatakan dalam al-Qur’an bahwa jadal merupakan salah satu tabiat manusia.
“Dan
manusia adalah mahluk yang paling banyak mendebat.” (QS.
Al-kahfi:54)
Disamping itu, Allah memperbolehkan juga
ber-munazharah dengan ahli Kitab dengan cara yang baik. Firman-Nya,
“dan janganlah kamu berdebat dengan ahli Kitab
melainkan dengan cara yang paling baik” (An-Nahl:125)
Munazharah seperti bertujuan untuk
menampakkan hak (kebenaran sejati) dan membangun hujjah. Itulah metoda Jadal
al-Qur’an dalam memberi petunjuk kepada orang kafir dan mengalahkan para
penantang al-Qur’an .
B. Qasam
1) Pengertian
Qasam
Aqsam adalah benuk jamak dari qasam
yang berarti al-hilf dan al-yamin, yakni sumpah. Sighat yang asli
bagi sumpah ialah uqsimu atau ahlifu, yang dita’diahkan dengan ba
kepada muqsam bihi. Kemudian barulah disebut muqsam ‘alaihi, yang
dinamakan jawab qasam,. [2]Seperti
firman Allah swt:
وأقسوا با لله جهد أيمانهم لا يبعث
الله من يموت... (انحل:36)
“Dan mereka bersumpah dengan nama Allah
dengan sekuat-kuat sumpah bahwa Allah tidak membangkitkan orang yang mati…”
(QS. An-Nahl:38)
2) Macam-macam
Qasam dan Contohnya
Qasam dibagi menjadi dua yaitu[3]:
Ø Zhahir,
ialah sumpah yang didalamnya disebut Fi’il qasam dan muqsam bihi. Dan
diantaranya ada yang dihilangkan Fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya,
karena dicukupkan dengan huruf jar berupa “ba”, “wawu” dan “ta”. Dan ada juga
yang didahului ‘la nafy” seperti:
لاأقسم
بيوم القيمة (1) ولا اقسم با لنفس اللوا مة (2) [القيا مة 1-2]
“Tidak
sekali-kali, Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan tidak sekali-kali , Aku bersumpah
dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (Al-Qiyamah:1-2)
Ø Mudhmar,
yaitu yang didalamnya tidak dijelaskan Fi’il qasam dan tidak pula muqsam
bih, tetepi ia ditunjukkan oleh lam taukid yang masuk dalam jawab
qasam, seperti firman Allah:
لتبلون فى أموا لكم وأنفسكم (ال
عمران:186)
“
Kamu sunguh-sungguh akan diuji terhadap
hartamu dan dirimu” (Ali Imran:186).
3) Redaksi
Qasam dan Unsur-unsurnya
Unsur-unsur sighat qasam ada
tiga:
1. Fi’il
yang muta’adi dengan ba.
2. Muqam
bihi
Oleh karena qasam banyak terjadi
dalam pembicaraan, dia diringkaskan yaitu dengan membuang Fi’il qasam dan
cukup dengan ba saja, kemudian ba diganti dengan wawu pada isim-isim yang zhahir,
atau dengan ta, tapi sedikit sekali yang memakai ta dan yang banyak memakai wawu.
4) Hikmah
Mengetahui Qasam dalam Al-Qur’an
Qasam
merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan
memperkuat kebenaran sesuati didalam jiwa. Dalam penurunan al-Qur;an ada yang
meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang memusuhi. Karena itu
dipakailah qasam dalam Kalamullah, guna menghilanhkan keraguan dan
kesalahpahaman, membangun argumentasi, menguatkan khabar dan menetapkan hokum
dengan cara paling sempurna.[5]
Kata dakwah secara etimologis merupakan
masdar (kata benda) dari kata kerja da’a – yad’u yang berarti panggilan,
seruan, atau ajakan. Sedangkan secara terminologis, dakwah adalah kegiatan yang
bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada
Allah SWT sesuai dengan garis faedah, syari’at dan akhlak Islam.
Ada tiga cara berdakwah, yaitu :
- Dakwah bil hikmah,
maksudnya dengan dalil (burhân) atau
hujjah yang jelas (qath‘i ataupun zhanni) sehingga menampakkan kebenaran dan
menghilangkan kesamaran. Cara ini tertuju kepada mereka yang ingin mengetahui
hakikat kebenaran yang sesungguhnya, yakni mereka yang memiliki kemampuan
berpikir yang tinggi atau sempurna; seperti para ulama, pemikir, dan
cendekiawan.[6]
Sebagian mufasir seperti as-Suyuthi,
al-Fairuzzabadi, dan al-Baghawi mengartikan hikmah sebagai “al-Quran”. Ibnu
Katsir menafsirkan hikmah sebagai apa saja yang diturunkan oleh Allah, berupa
al-Kitab dan as-Sunnah.
Penafsiran tersebut tampaknya masih
bersifat global. Mufasir lainnya lalu menafsirkan hikmah secara lebih rinci,
yakni sebagai hujjah atau dalil. An-Nawawi al-Jawi menafsirkan hikmah sebagai
hujjah yang qath‘i yang menghasilkan aqidah yang meyakinkan. An-Nisaburi
menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang dapat menghasilkan
keyakinan. Al-Baidhawi dan Al-Khazin mengartikan hikmah dengan ucapan yang
tepat (al-maqâlah al-muhkamah), yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan
menyingkirkan kesamaran (ad-dalil al-muwadhdhih li al-haq wa al muzîl li
asy-syubhah). Al-Asyqar menafsirkan hikmah dengan ucapan yang tepat dan benar
(al-maqâlah al-muhakkamah ash-shahîhah).
Kesimpulannya, jumhur mufasir
menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau dalil. Dari ungkapan para mufasir di
atas juga dapat dimengerti, bahwa hujjah yang dimaksud adalah hujjah yang
bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah), yakni hujjah yang tertuju pada akal.
Sebab, para mufasir seperti al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan
an-Nawawi al-Jawi mengaitkan seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya yang
spesifik, yakni golongan yang mempunyai kemampuan berpikir sempurna
(al-khawwâs).
- Dakwah mau’izhah hasanah,
yaitu peringatan yang baik yang dapat menyentuh akal dan hati (perasaan).
Misalnya, dengan menyampaikan aspek targhîb (memberi dorongan/pujianjani)
dan tarhîb (memberi peringatan/celaan/ancaman) ketika menyampaikan hujjah.
Cara ini tertuju kepada masyarakat secara umum. Mereka adalah orang-orang
yang taraf berpikirnya di bawah golongan yang diseru dengan hikmah, namun
masih dapat berpikir dengan baik dan mempunyai fitrah dan kecenderungan
yang lurus.
Sebagian
mufasir menafsirkan mau’izhah hasanah (nasihat/ peringatan yang baik) secara
global, yaitu nasihat atau peringatan al-Quran (mawâ‘izh al-Qur’ân). Demikian
pendapat al-Fairuzabadi, as-Suyuthi, dan al-Baghawi. Namun, as-Suyuthi dan
al-Baghawi sedikit menambahkan, dapat juga bermakna perkataan yang lembut
(al-qaul ar-raqîq).
sifat mau‘izhah hasanah sebagai suatu
nasihat yang tertuju pada hati (al-qalb), yang lebih bernuansa spiritual, tanpa
meninggalkan karakter nasihat itu yang tertuju pada akal (al-‘aql), yang
bernuansa rasional. Sayyid Quthub menafsirkan mau‘izhah hasanah sebagai nasihat
yang masuk ke dalam hati dengan lembut (tadkhulu ilâ al-qulûb bi rifq).
An-Nisaburi menafsirkan mau‘izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang memuaskan
(ad-dalâ’il al-iqna’iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan pembenaran (tashdîq)
berdasarkan premis-premis yang yang telah diterima. Al-Baidhawi dan Al-Alusi
menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai seruan-seruan yang memuaskan/meyakinkan
(al-khithâbât al-muqni‘ah) dan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-‘ibâr
al-nâfi‘ah). An-Nawawi al-Jawi menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat
zhanni (al-amârât azh-zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan. Al-Khazin
menafsirkan mau’izhah hasanah dengan targhîb (memberi dorongan untuk menjalankan
ketaatan) dan tarhîb (memberikan ancaman/peringatan agar meninggalkan
kemaksiatan).
karakter nasihat yang tergolong
mau’izhah hasanah ada dua:
I.
Menggunakan ungkapan
yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang digunakan para
mufasir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni kata dalâ’il
(indikator-indikator), muqaddimah (premis), dan khithâb (seruan). Semua ini
jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami.
II.
Menggunakan ungkapan
yang tertuju pada hati/perasaan.
- Dakwah dengan
jadal (jidâl/mujâdalah) billati hiya ahsan,
yaitu debat yang paling baik. Dari segi cara penyampaian, perdebatan itu
disampaikan dengan cara yang lunak dan lembut, bukan cara yang keras dan
kasar. Cara ini tertuju kepada orang yang cenderung suka berdebat dan
membantah, yang sudah tidak dapat lagi diseru dengan jalan hikmah dan
mau‘izhah hasanah.
Pada
penafsiran yang lebih terperinci, akan didapati perbedaan pendapat di kalangan
para mufasir. Akan tetapi, perbedaan itu sesungguhnya dapat dihimpun (jama’)”
dan diletakkan dalam aspeknya masing-masing. Perbedaan itu dapat dikategorikan
menjadi tiga aspek:
I.
Dari segi cara (uslûb),
sebagian mufasir menafsirkan jidâl billati hiya ahsan sebagai cara yang lembut
(layyin) dan lunak (rifq), bukan dengan cara keras lagi kasar. Inilah
penafsiran Ibn Katsir, al-Baghawi, al-Baidhawi, al-Khazin, dan M. Abdul Mun’in
Al-Jamal.
II.
Dari segi topik (fokus)
debat, sebagian mufasir menjelaskan bahwa jidâl billati hiya ahsan sebagai
debat yang dimaksudkan semata-mata untuk mengungkap kebenaran pemikiran, bukan
untuk merendahkan atau menyerang peribadi lawan debat. Sayyid Quthub
menerangkan bahwa jidâl billati hiya ahsan bukanlah dengan jalan menghinakan
(tardzîl) atau mencela (taqbîh) lawan debat, tetapi berusaha meyakinkan lawan untuk
sampai pada kebenaran (Fî Zhilâl al-Qur’âdan, XIII/292).
Dari segi hujjah,
sebahagian mufasir menjelaskan bahawa hujjah dalam jidâl billati hiya ahsan
mempunyai dua tujuan sekaligus, yaitu untuk menghancurkan hujjah lawan (yang
batil) dan menegakkan hujjah kita (yang haq). Imam an-Nawawi al-Jawi (Marah
Labid, I/517) menjelaskan bahwa tujuan debat adalah ifhâmuhum wa ilzâmuhum
(untuk membuat diam lawan debat dan menetapkan kebenaran pada dirinya). Imam
al-Alusi mencontohkan debatnya Nabi Ibrahim a.s. dengan Raja Namrudz (Rûh
al-Ma‘âni, V/487).
[1] Manna’ Khalil, Al-Qattan, Mabahis
Fi Ulumil Quran, [Surabaya
: Al-Hidayah ,1673], hal. 291
[2] Manna’
Khalil, Al-Qattan, Mabahis Fi Ulumil Quran, [Surabaya : Al-Hidayah
,1673] hal.290
[3] Ibid, Hal. 293
[4] Ibid, Hal. 290
[5] Ibid, hal. 291
[6] M. Hasbi Ash Shiddieqy, , Ilmu-Ilmu
al-Qur’an, Semarang ,
edisi ke tiga,Pustaka Rizki Putra, 2009 hal. 79
Tidak ada komentar:
Posting Komentar