Kemukjizatan Al Quran dalam
perspektif kemoderenan atau keberagamaan moderen.
Pengertian Mukjizat
Kata
“Mukjizat” menurut Quraish Shihab berasal dari bahasa Arabأعجز yang berarti
“melemahkan atau menjadikan tidak mampu”, sedangkan ة“” ta’ marbutah pada kata معجزة menunjukkan
makna mubalaghoh (superlative)[1].
Menurut kamus besar Purwo Darminto
adalah “kejadian ajaib/luar bisaa yang sukar dijangkau oleh kemampuan manusia”[2]. Sedangkan menurut pakar
agama Islam adalah “suatu hal atau peristiwa luar bisaa yang terjadi melalui
seorang yang disebut Nabi, sebagai bukti kenabiannya yang di tantangkan pada
yang meragukan, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka
tidak mampu melayani tantangan tersebut”.[3]
Manna’ Khalil Al-Qattan menjelaskan bahwa pengertian “Kelemahan” secara umum
ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, sehingga nampaklah kemampuan dari
“mu’jis”(sesuatu yang melemahkan). Dan kata I’jas dalam konteks ini adalah
menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan
menampakkan kelemahan orang Arab beserta generasi-generasi setelahnya untuk
menghadapi mu’jizatnya yang abadi( Al-Qur`an).[4]
Dari definisi tersebut di atas dapat
diturunkan beberapa pengertian diantaranya:
Pertama; kejadian luar bisaa yang “sukar”
dijangkau oleh kemampuan manusia, pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana
ke-luar bisaaan mukjizat? Dan kata “sukar” pada definissi diatas menimbulkan
probability tentang adanya kemungkinan bahwa manusia akan bisa sampai pada
maqom sukar tersebut, bila demikian masihkah disebut mu’jizat?.
Dalam bukunya yang berjudul
“Mukjizat Al-Qur`an” Quraish Shihab menjelaskan bahwa kejadian luar bisaa yang
dimaksud adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab dan akibat yang
terdapat secara umum pada hukum-hukum alam (sunatullah) yang diketahui oleh
manusia[5].
Namun demikian penulis lebih berpendapat bahwa semua keajaiban yang terjadi di
alam termasuk mukjizat semuanya adalah rasional artinya bahwa sebenarnya akal
mampu menerima kebenaran logis terhadap mukjizat. Hal ini didasarkan pada
beberapa ayat dalam Al-Qur`an yang menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa yang
gaib termasuk konsekuensi dari pahala dan dosa yang akan diterima oleh manusia
besuk di hari pembalasan tetapi kenyataannya banyak manusia tidak percaya,
tepatnya dalam QS: Yunus: 39[6].
Dalam pengertian lain bahwa
pengetahuan manusia tentang hukum sebab-akibat yang terdapat di alam hanyalah
sebagian kecil dari hukum-hukum sebab akibat yang ada dalam pengetahuan Tuhan.
Sebagai contoh adalah untuk mendapatkan hasil angka 7 bisa melalui 4+3 = 7
(hukum alam yang dapat diketahui manusia), sedangkang masih banyak sebab-akibat
dari hasil angka 7 yang tidak dapat diketahui manusia karena keterbatasan
pengindraan. Misalnya 3+3+1=7, (2×2)+3=7, 10-3=7, 100-99+(2×2)+2=7 dst, yang
semua sebab-akibat tersebut ditunjukkan oleh Tuhan maka manusia akan mampu
memahaminya. Oleh karena itu termasuk kata “sukar” di atas kurang tepat. Karena
yakin bahwa manusia dibatasi oleh hukum-hukum alam yang melekat pada dirinya.
Tetapi seandainya Allah memberikan penjelasan maka akal akan mampu menerima
kebenaran tersebut, namun kenyataannya Allah tak memberikan penjelasan karena
ada tujuan-tujuan tertentu yang tak mudah kita pahami.
kedua; melemahkan. Istilah ini juga menggoda
pada kita untuk mengkaji ulang. Diantara pendapat datang kaum Sirfah. Abu Ishaq
Ibrahim An-Nizam dan pengikutnya dari kaum syi’ah seperti al-Murtadha
mengatakan bahwa kemukjizatan Al-Qur`an adalah dengan cara shirfah
(pemalingan). Artinya bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk menantang
Qur’an, padahal sebenarnya mereka mampu, maka pemalingan inilah yang luar bisaa
yang selanjutnya pendapat ini di habisi oleh Qadi Abu bakar al-Baqalani ia
berkata: “kalau yang luar bisaa itu adalah shirfah maka kalam Allah bukan
mukjizat melainkan Shirfah itu sendiri yang mukjizat” dengan berlandasan pada
QS. Al-Isra’:88. [7]
Berbeda dengan pendapat kaum sirfah,
penulis lebih memandang melalui kaca mata dilalah siyaqiyah, bahwa makna
“melemahkan-dilemahkan ” cenderung mengarah pada konteks menang dan kalah. Hal
inilah yang menurut penulis kurang etis.
Dan ternyata kata melemahkan معجزة) يعجز–(أعجز tidak
terdapat dalam Al-Qur`an. kalimat yang digunakan adalah أيت (tanda-tanda) dan بينات (penjelasan)
yang dari kedua kata tersebut menurut Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA.
mempunyai dua pengertian pertama; pengkabaran Ilahi (QS.3:118, 252/QS.6:4/
QS10:7dan QS.2:159/ QS 3:86/ QS 10:150). Kedua; tanda-bukti yang termasuk
digolongkan mukjizat (QS.3:49/ QS.7:126/ QS.40:78/ QS.27:13 dan QS.7:105/
QS.16:44/ QS.20:72)[8]. yang
menurut penulis sebenarnya jauh dari makna melemahkan atau bahkan mengalahkan.
ketiga; dibawa oleh seorang nabi.
Seandainya peristiwa luar bisaa tersebut terjadi bukan pada nabi meskipun
secara fungsi ada kesamaan dengan mukjizat, bisakah disebut mukjizat?. Dalam
buku yang sama Quraish Shihab menjelaskan, selain yang membawa nabi kejadian luar
bisaa tersebut bukan dinamakan mukjizat. Beliau menambahkan kalau terjadi pada
seseorang yang kelak akan menjadi nabi maka disebut Irhash, adakalanya terjadi
pada hamba Allah yang taat yang disebut karomah, dan apabila terjadi pada hamba
yang durhaka disebut Istidroj (rangsangan untuk lebih durhaka) atau Ihanah
(penghinaan)[9].
Semua peristiwa tersebut adalah merupakan tanda-tanda dan bukti atas kebesaran
Allah agar siapapun yang menyaksikannya baik melalui akal maupun hatinya dapat
beriman kepada Allah.
keempat; sebagai
bukti kerasulan. Kata “bukti” menyangkut percaya dan tidak percaya, seandainya
seseorang telah percaya pada rasul bahwa Ia adalah utusan Allah, adakah masih
disebut mukjizat?.
Dari
definisi mukkjizat, makna “bukti atau tanda” inilah yang paling utama bukan
lemah dan melemahkan karena tujuan risalah (kerasulan) adalah agar seseorang
mampu memahami dan meyakini bahwa risalah tersebut benar-benar dari Zat yang
Maha Kuasa yaitu Allah SWT. Adapaun bagi mereka yang sudah percaya terhadap
kerasulan Nabi beserta apa yang disampaikannya yang berupa wahyu dari Tuhan
maka peristiwa luar bisaa tersebut tetap disebut mukjizat. Sebab dimensi lain
makna mukjizat(ketidak mampuan akal) tetap berlaku pada orang yang sudah
percaya tersebut. Oleh karena itu fungsinya disamping sebagai “bukti” juga
merupakan penjelasan dan pemantapan terhadap keyakinan seseorang.
kelima; mengandung tantangan. Memang
kebanyakan ulama diantara misalnya Syahrur juga melihat QS. Al-Isra’: 88
mengandung tantangan dan tantangan tersebut berakhir pada kelemahan mu’jas[10],
namun hemat penulis bahwa sebenarnya Allah tidak hendak menantang orang-orang
kafir. Bagaimana bisa Tuhan menantang mahluknya jelas inpossible, karena maksud
dan tujuannya bukan untuk menantang. Dalam ilmu dilaliyah, conten analisis
perlu meneropong gaya penuturan Autor, misalnya kalimat ” ayo kalau berani !” (
kondisi marah) mempunyai makna tantangan, sedangkan ” ayo kalau berani ”
(kodisi tersenyum) bermakana menguji.
Berdsarkan sifatnya, mukjizat
(Al-Qur`an) yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW. sangatlah berbeda dengan
mukjizat-mukjizat yang diberikan kepada nabi-nabi terdahulu. Jika para nabi
sebelumnya bersifat Hissiy-Matrial sedangkan Al-Qur`an bersifat maknawy /
immateri. Perbedaan tersebut bertolak pada dua hal mendasar yaitu pertama,
para nabi sebelum Muhammad SAW. ditugaskan pada masyarakat dan masa tertentu.
Oleh karenanya mukjizat tersebut hanya sementara. Sedangkan Al-Qur`an tidak
terbatas pada masyrakat dan masa tertentu sehingga berlaku sepanjang masa. Kedua,
secara historis-sosiologis dalam pemikirannya manusia mengalami perkembangan.
Auguste Comte(1798-1857) –sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab- ia
berpendapat bahwa pikiran manusia dalam perkembangannya mengalami tiga fase.
Pertama Fase keagamaan, dikarenakan keterbatasan pengetahuan manusia ia
mengembalikan penafsiran semua gejala yang terjadi pada kekuatan Tuhan atau
dewa yang diciptakan dari benaknya. Kedua fase metafisika, yaitu manusia
berusaha menafsirkan gejala yang ada dengan mengembalikan pada sumber dasar
atau awal kejadiannya. Ketiga fase ilmiah, dimana manusia dalam menafsirkan
gejala atau fenomena berdasarkan pengamatan secara teliti dan eksperimen
sehingga didapatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena tersebut[11].
Posisi Al-Qur`an sebagai mukjizat adalah pada fase ketiga dimana ditengarahi
bahwa potensi pikir-rasa manusia sudah luar biasa sehingga bersifat universal
dan eternal.
Umumnya mukjizat para rasul
berkaitan dengan hal yang dianggap bernilai tinggi dan sebagai keunggulan oleh
masing-masing umatnya pada masa itu. Misalnya pada zaman nabi Musa lagi
ngeternnya tukang sihir, maka mukjizatnya sebagaimana tertera dalam QS.
Al-a’raf: 103-126, As-Su’ara’: 30-51, dan Thoha: 57-73. pada nabi Isa adalah
zaman perdukunan / tabib maka mukjizatnya adalah seperti pada QS. Ali Imran: 49
dan Al-Maidah: 110. Dan pada zaman Muhammad lagi marak-maraknya sastra sehingga
mukjizat yang mach adalah Al-Qur`an[12].
Dari sinilah sebagian ulama berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Qur`an yang utama
saat itu adalah kebahasaan dan kesastraannya di samping isi yang terkandung di
dalamnya.
Menanggapi
masalah definisi mukjizat yang telah dihadirkan para ulama, penulis lebih
cenderung pada makna “bukti”, hal ini didasarkan pada bahwa kata “mukjizat”
tidak ditemukan dalam al-quran melainkan kata “ayat”. Bukti-bukti inilah yang
luar biasa sehingga manusia khusunya masyarakat Arab ketika itu bertekuk lutut
atau paling tidak sebenarnya mereka mengakuinya. Diantara bukti-bukti yang luar
biasa tersebut adalah pada aspek kebahasaannya, isyarat-isyarat ilmiyah dan
muatan hukum yang terkandung didalamnya.
Ditilik dari
kebahasaan, Al-Qur`an mempunyai kandungan makna luar biasa baik yang dihasilkan
dari pemilihan kata, kalimat dan hubungan antar keduanya, efek fonologi
terhadap nada dan irama yang sangat berpengaruh terhadap jiwa penikmatanya atau
efek fonologi terhadap makna yang ditimbulkan serta deviasi kalimat yang sarat
makna. Ditambah lagi adanya keseimbangan redaksinya serta keseimbangan antara
jumlah bilangan katanya. Sehingga tak heran bila Al-Qur`an menempatkan dirinya
sebagai seambrek simbul yang sangat kominikatif lagi fenomenal.
Tak kalah
serunya Al-Qur`an dilihat dari demensi ilmiyah. Bagaimana Al-Qur`an
mendiskripsikan tentang reproduksi manusia, hal ihwal proses penciptaan alam
beserta frora dan faunanya tentang awan peredaran matahari dan seterusnya yang
semua itu dapat dibuktikan keabsahannya melalui kacamata ilmiyah, sehingga
menujukkan bahwa Al-Qur`an sejalan dengan rasio dan akal manusia.
Adanya
kisah-kisah misterius dalam Al-Qur`an, menempatkannya sebagai ajaran kehidupan
yang mencakup total tata nilai mulai hulu peradaban umat manusia hingga
hilirnya. Bahwa peristiwa-peristiwa tersebut sengaja dihadirkan oleh Tuhan agar
manusia mampu menjadikannya sebagai ‘ibrah kehidupan. Ia merupakan sebuah
metode yang dipilih Tuhan untuk menuangkan nilai yang terkandung didalamnya.
Keistimewaan Al-Qur`an yang paling
esensi adalah petunjuk hukum secara kooperatif, komprehensif dan holistik baik
yang berkenaan masalah akidah, agama, sosial, pilitik dan ekonomi yang secara
umum bertolak pada azaz keadilan dan keseimbangan, baik secara jasmani dan
rohani, dunia dan akhirat atau manusia sebagai indifidu, social masyarakat atau
dengan Tuhannya.
Kemukzijatan ilmiah yang dimiliki oleh
Al-Qur`an bukan terletak pada sisi cakupannya terhadap seluruh aspek
teori-teori ilmiah yang akan selalu bertambah dan mengalami perubahan, akan
tetapi terletak pada anjurannya untuk selalu berfikir. Al-Qur`an memerintahkan
manusia untuk menggunakan akalnya memikirkan penciptaan alam semesta.
Dengan demikian jelas bagi kita bahwa
kemukjizatan ilmiah Al-Qur`an menuntun untuk berfikir dan membuka untuk kaum
muslimin pintu-pintu pengetahuan, dan mengajak mereka untuk berkontribusi di
dalamnya, berkembang dan menerima setiap inovasi yang dimunculklan dari
penemuan-penemuan ilmiah.
Begitulah isyarat-isyarat ilmiah dalam
Al-Qur`an yang datang dalam bentuk petunjuk ilahi agar manusia mencari dan
terus melakukan berbagai perenungan.
Manusia secara naluri membutuhkan orang
lain. Dan rasa saling membutuhkan tidak akan pernah bisa dilepaskan dari
manusia. Sikap hidup saling bantu membantu merupakan gambaran begitu perlunya
terbina hubungan yang harmonis antara satu dengan yang lain.
Namun disi lain, sering kali kita temukan
seseorang berlaku zhalim pada orang, atau mengambil hak-hak orang lain dengan
paksa. Hal ini terjadi disebabkan tidak adanya nya peraturan atau undang-undang
yang diberlakukan untuk menjaga kehormanisan kehidupan ditengah manusia.
Sehingga pada akhirnya kehidupan manusia akan kacau dan hak-hak setiap orang
terampas oleh orang yang lebih kuat.
Al-Qur`an menuntun setiap muslim untuk
memegang teguh ketauhidan yang merupakan landasan pokok dalam beramal.
Ketauhidan ini akan menjauhkan dirinya dari keyakinan terhadap khurafat,
keraguan, dan dari menjadi budak nafsu serta penyembahan terhadap syahwat.
Sehingga ia menjadi seorang hamba yang bersih keyakinannya pada Allah. Yang
hanya patuh dan tunduk pada Tuhan yang satu. Tidak butuh kepada selainNya.
Tuhan yang memiliki kesempurnaan. Yang darinya datang segala kebaikan untuk
segenap makhlukNya. Dialah tuhan yang satu, pencipta yang satu, yang maha kuasa
atas segala sesuatu.
Apabila akidah seorang muslim telah lurus
dan benar maka hendaklah ia mengambil konsep hidupnya sesuai dengan tuntunan
syariat yang dinyatakan dalam Al-Qur`an. Setiap ibadah fardhu yang ditujukan
untuk kemaslahatan individu akan tetapi pada waktu yang bersamaan ia juga
bertujuan untuk kemaslahatan hidup bersama.
Ibadah shalat bertujuan untuk mencegah
seseorang dari berperilaku keji dan mungkar [Al-Angkabut : 45]. Dengan
terlaksananya shalat dengan baik, akan terpancarlah pada diri seorang muslim
sikap yang baik pula, tenang dan membawa kedamaian pada orang yang ada
disekitarnya.
Zakat membuang dari diri sikap bakhil,
kecintaan pada dunia, ketamakan pada harta. Disisi lain zakat akan menjadi sarana
saling tolong menolong antara yang kaya pada yang miskin. Dimana yang kaya
memberikan sebahagian dari hartanya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan
dan berhak.
Ibadah haji adalah sarana untuk latihan
diri menempuh kesulitan. Pada saat haji semua manusia akan berkumpul pada satu
tempat, semuanya dengan pakaian yang sama, dan tidak ada yang membedakan mereka
kecuali ketakwaan.
Sedangkan puasa melatih seseorang untuk mengendalikan hawa nafsunya. Ketika
berpuasa seseorang akan dilatih untuk menahan amarahnya. Disamping akan
terlatih kejujurannya. Semua ibadah diatas bila dilaksanakan dengan sebagaimana
mestinya akan melahirkan dalam diri setiap muslim pribadi yang soleh, Al-Qur`an
juga mengajarkan untuk berlaku sabar, jujur, bersikap adil, ihsan, memaafkan
orang lain dan sikap-sikap mulia lainnya.
القرآن ), Litera Antar Nusa dan Pustaka
Ilmiyah, IKAPI Yogyakarta, cetakan V 1998 hal. 371
[6] Dalam
Al-quran versi مجمع الملك
المدينة المنورة diterjemahan . Padahal belum
datang kepada mereka penjelasannya , hal ini mengandung arti bahwa
sebenarnya akal manusia mampu menerima kebenaran atas ayat-ayat Allah khususnya
yang terkait dengan al-quran sebagai mukjizat atas isi dan susunan bahasanya.
Karena dalam hal ini bahwa keluarbiasaan tersebut berlaku di alam untuk
manusia.
[7] Manna’
Khalil al_Qattan, (Studi Ilmu Qur’anterjemahan dari مباحث في علوم القرآن ), Litera
Antar Nusa dan Pustaka Ilmiyah, IKAPI Yogyakarta, cetakan V 1998 hal. 375
[8] Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press
Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002, hal. 30
[10] Lih. M. Syahrur dalam bukunya al-Kitab wa
al-Quran (qiraatun mu’sharatun), Syarikah Al-matbuu’ah littauzii’ wa
an-nasyr Beirut Libanon cetakan ke VI 2000. hal 179
[12] Prof. DR. H.
Said Aqil Munawar, MA, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press
Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002, hal. 31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar