Abu Suud
1. Biografi
Nama lengkapnya
adalah Abus Su’ud Muhammad bin Muhammad Al Imady, lahir pada tahun 896 H=1490
M, dan meninggal pada tahun 982 H = 1574 M. Seorang ulama fiqih dan tafsir.
Berkali-kali beliau menjabat pekerjaan Qadli dan kemudian sekali beliau menjadi
mufti di Konstantinopel (Istambul). Di antara kitabnya tafsir Irsyaad al-‘Aql
as-Saliim Ilaa Mazaaya al-Kitaab al-Kariim.
Irsyad al-Aql
as-Salim ila Mazaya al-Kitab as-Salim disusun oleh Abu Su'ud bin Muhammad
al-Amidi. Kitab tafsir ini menekankan masalah kebahasaan dan kemukjizatan
Alquran dari segi munasabah antara ayat dan kiraah, dan hal-hal yang berkaitan
dengan kaidah bahasa Arab. Riwayat isra'iliyyat dan masalah fikih kurang ditampilkan
dalam kitab tafsir ini.
Ia termasuk
penganut aqidah Asya’riyyah yang mengikuti madzhab ar-Razy di dalam
membicarakan tentang sifat-sifat Allah dan menukil hal-hal yang dikuatkannya
serta menyetujuinya.
Ada yang
mengatakan, bahwa ia adalah tafsir yang bagus, tidak terlalu panjang sehingga
membuat jenuh dan tidak pula terlalu pendek sehingga mengurangi maknanya. Ia
banyak membahas tentang sisi-sisi sentuhan dan sesuatu yang unik, mengandung
banyak faidah dan petunjuk. Pengarangnya fokus pada perhatian menyingkap
rahasia-rahasia balaghah al-Qur’an dengan mengacu pada pada kitab tafsir
al-Kasysyaaf (karya az-Zamakhsyari-red.,) dan kitab ‘al-Baidlawi’ di dalam
menafsirkannya.
Beliau
memaparkan madzhab-madzhab fiqih secara ringkas dan hampir tidak pernah terlibat
dalam diskus-diskusi fiqih.
Sedikit sekali
menyinggung masalah Israa`iliyyaat, dan sekali pun terkadang menyinggungnya
juga, maka ia terlebih dahulu membubuhkan kata, ‘Diriwayatkan’ atau ‘Katanya’
di depannya (yang mengesankan hadits megenainya lemah-red.,), ia malah
mengetengahkan hadits-hadits Mawdlu’ (Palsu) di dalam masalah keutamaan surat
pada akhir penafsiran setiap surat.
Setiap ulama
berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini
berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk
mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa
ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah pemahaman
terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa Ahmad
az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada
periode ini.
a. Munculnya
upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang
memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam
berbagai mazhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun ini disistematisasikan sesuai
dengan pembagian dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab fatwa ini mencerminkan
perkembangan fiqh ketika itu, yaitu menjawab persoalan yang diajukan kepada
ulama fiqh tertentu yang sering kali merujuk pada kitab-kitab mazhab ulama fiqh
tersebut.
b. Muncul
beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti
diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu,
fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik
dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan
terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai
dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh
bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan
diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk
transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara',
tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut
dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan
pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak
dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut,
karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang
tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada
masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574]
dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
c. Di
akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab
resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki
Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum
perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab
Hanafi.
2. Metode
yang digunakan
Dalam menafsirkan
Al-Qur’an, Abu as-Su’ud selalu menggunakan metode tafsir bi ar-ra’yi, hal ini
dapat kita lihat bahwa beliau lebih menonjolkan corak bahasa dan juga kaedah
nahwu serta balaghah. Sebagaimana dijelaskan, tafsir bi al-ra'yi adalah sebuah
metode penafsiran al-Qur’an dengan memakai akal pikiran (ijtihad). Karena itu,
proses dan hasil penafsiran ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya
dan ideologi mufasirnya, yaitu apakah dia seorang praktisi politik, ahli hukum,
seorang sufi, teolog, filosof atau yang lain.
3. Corak penafsiran yang digunakan
Corak penafsiran
yang digunakan dalam Tafsir Irsyâd al-‘Aql al-Salîm Ila Mazaya Al-qur’an
Al-karim adalah Corak bahasa. Beliau menyinggung masalah Qira`at untuk sekedar
dapat menjelaskan suatu makna dan memperhatikan penyebutan aspek-aspek
singkronisasi antar ayat yang satu dengan yang lain. Begitu juga dengan kaedah
nahwu tidak terlepas dari penafsiran yang digunakan dalam mengulas gaya bahasa,
sehingga ayat yang ditafsirkan lebih mempunyai makna dan susunan kaedah yang
baik.
Ia menafsirkan
al-Qur’an dengan menampilkan susunan tata bahasanya, makna-makna susunan
tersebut, makna-makna logika orang Arab, dan dengan banyak membuat perbandingan
antara ayat yang satu dengan lainnya atau antara ayat al-Qur’an dengan
syair-syair orang Arab.
4. Contoh
ayat yang ditafsirkan
1. Allah Subhana
wa Ta`ala Berkata :
* tíu° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Ó»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZø¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤Ïãur ( ÷br& (#qãKÏ%r& tûïÏe$!$# wur (#qè%§xÿtGs? ÏmÏù 4 uã9x. n?tã tûüÏ.Îô³ßJø9$# $tB öNèdqããôs? Ïmøs9Î) 4 ª!$# ûÓÉ<tFøgs Ïmøs9Î) `tB âä!$t±o üÏökuur Ïmøs9Î) `tB Ü=Ï^ã ÇÊÌÈ
Artinya : “Dia telah mensyari`atkan bagi kamu tentang Din ini apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan `Isa yaitu : Tegakkanlah Din ini dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”(QS. As Syura ayat 13).
Maksudnya
tegakkanlah Din Islam ini dengan segala rukunnya, dan apa apa yang ada di
dalamnya tentang At Tauhid kepada Allah Ta`ala, menta`ati-Nya dan beriman
dengan Kitab kitab, rasul rasul, dan hari Akhirat serta apa apa yang ada
padanya diwajibkan bagi seseorang untuk mengimaninya, yang dimaksud dengan
menegakkan Ad Din ialahn : menegakkan rukun rukunnya dengan `adil dan
memeliharanya dari penyimpangan, selalu menerapkannya dan bersungguh sungguh
untuk menegakkannya. (Tafsir Abi As Su`ud : 5/60).
Sesungguhnya
berhukum kepada Syari`at Allah- `Azza wa `Ala- dan berhukum dengan apa-apa yang
diwajibkan oleh Allah dan RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam, ini merupakan
tuntutan dari peribadatan kepada Allah, persaksian terhadap Risalah Nabi-Nya
Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam, bila berpaling dari demikian sedikit
saja akan ditimpa dia oleh azab dan sanksi Allah, urusan ini apakah antara
Negara dengan rakyatnya, atau sangat dianjurkan berpegangnya kelompok Muslimin
di setiap tempat dan waktu, apakah dalam situasi ikhtilaf dan pertikaian yang
khusus dan umum (Wujub Tahkim Syari`at Allah) oleh Mufti Kerajaan As Saudi,
Samahatu As Syaikh Abdul Aziz ibnu `bdullah bin Baz rahimahullah Ta`ala.
Berkata Abu As
Su`ud : maksudnya; Barang siapa yang tidak berhukum dengan Hukum-Nya serta
melecehkan dan mengingkari.... Maka dia termasuk orang-orang yang kafir
disebabkan kerana pelecehannya terhadap hukum Allah itu (Tafsir Abi As Su`ud
(1/64).
5. Analisis
kelemahan dan kelebihihan
a. Kelemahan
Bahwa
tafsir Tafsir Abi Al-Su'ud/Irsyad Al Aql Al-Salim Ila Mazaya Al-Qur’an Al-Karim
yang menggunakan metode penafsiran bi ar-ra’yi ini sudah barang tentu memiliki
kelemahan menyangkut perihal kontroversi para ulama tentang tafsir bi ar-ra’yi
itu sendiri, sehingga sebagianulama menilai bahwa tafsir tersebut tidak kuat
untuk dijadikan hujjah bagi kalangan ahli tafsir.
Dalam
tafsir Abi Al-Su'ud terkadang menyinggung Israilliyat sehingga membuat
tafsirnya mendapat tanggapan yang negatif dari sebagian ulama yang tidak
sejalan dengannya. Disamping itu beliau dalam menafsirkan ayat selalu menuqil
dari tafsir lain seperti tafsir Az-zamakhsyari.
b. Kelebihan.
Semangat menggunakan
metode linguistik dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an ini mempunyai
keistemewaan tersendiri. Yaitu, susunan kata-kata yang dipakainya berbeda
dengan metode yang lain. Ia mampu menguraikan suatu ayat yang tidak dimiliki
oleh metode lain, mampu menguraikan sebuah susunan kalimat dalam suatu ayat dengan
memakai kalimat-kalimat dan huruf-huruf yang ada di dalam ayat tersebut tanpa
memakai kalimat dan huruf yang lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar